Latest Post
22.43
Menyimpan Alqur'an di dalam Handphone (HP)?
Written By Unknown on Rabu, 28 Mei 2014 | 22.43
Tanya: Assalamualaikum,moga dalam baik,langsung saja, ustadz bagaimana hukumnya al quran yang ada di HP?(Baik itu berupa gambar,tulisan maupun suara)?jazakumullähu khairan (Bapa)
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuhu. Saya tidak mengetahui dalil atau alasan yang melarang menyimpan Al-Quran di dalam handphone. Menurut saya sama hukumnya dengan menyimpannya di dalam komputer.
Dan yang saya simpulkan dari fatwa Syeikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan adalah membolehkan menyimpan mushhaf Al-Quran di dalam HP dan membaca darinya.(Fatwa beliau bisa di dengar disini: http://www.alfawzan.ws/AlFawzan/FatawaSearch/tabid/70/Default.aspx?PageID=5321 )
Hanya yang perlu diperhatikan, jangan menggunakan Al-Quran sebagai nada dering karena Al-Quran tidak diturunkan untuk yang demikian, dan ini bukan termasuk memuliakan syiar-syiar Allah.
Berkata Syeikh Shalih bin Fauzan:
لا يجوز استعمال الأذكار ولا سيما القرآن الكريم في الجوالات بدلاً عن المنبِّه الذي يتحرّك عند المكالمة ، فيضع منبّهًا ليس فيه نغمة موسيقى ، وإنما هو منبِّه عادي ، كمنبِّه الساعة مثلاً ، أو الجرس الخفيف ، وأما وضع الأذكار والقرآن والأذان محلّ ذلك ، فهذا مِن التنطّع ، ومِن الاستهانة بالقرآن وبهذه الأذكار
"Tidak boleh menggunakan dzikir-dzikir, khususnya Al-Quran Al-Karim di dalam handphone sebagai ganti dari nada dering yang muncul ketika ada yang mau berbicara. Hendaknya memasang nada dering biasa, yang tidak ada musiknya, seperti nada dering jam, atau suara lonceng yang ringan. Adapun menggunakan dzikir , Al-Quran, dan adzan maka ini termasuk berlebih-lebihan dan termasuk penghinaan terhadap Al-Quran dan dzikir-dzikir tersebut. (Fatwa beliau bisa di dengar disini: http://www.alfawzan.ws/AlFawzan/sounds/00057-03.ra)
Demikian pula ketika memasuki kamar kecil /WC hendaknya program mushhaf Al-Qurannya dimatikan baik suara maupun tulisan.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya tentang membawa kaset murattal ke dalam kamar kecil:
لا بأس أن يدخل الحمام ومعه شريط سجل عليه شيء من القرآن؛ وذلك لأن الحروف لا تظهر على هذا الشريط، ولا يبين إلا الصوت إذا مر الشريط على الجهاز الذي يظهر به الصوت، فلا حرج أن يكون مع الإنسان أشرطة فيها قرآن، أو حديث، أو غيره؛ ويدخل بها الخلاء. ......
"Tidak mengapa masuk ke dalam kamar kecil dengan membawa kaset yang terekam sebagian Al-Quran di dalamnya, yang demikian karena huruf-hurufnya tidak nampak di kaset, demikian pula suaranya tidak muncul kecuali kalau memakai alat yang memunculkan suara. Maka tidak mengapa seseorang membawa kaset yang di dalamnya ada Al-Quran, atau hadist, atau selainnya, ke dalam kamar kecil" (Liqa' Bab Al-Maftuh )
Wallahu a'lam.
Sumber : http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/07/menyimpan-al-quran-di-dalam-handphone.html
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuhu. Saya tidak mengetahui dalil atau alasan yang melarang menyimpan Al-Quran di dalam handphone. Menurut saya sama hukumnya dengan menyimpannya di dalam komputer.
Dan yang saya simpulkan dari fatwa Syeikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan adalah membolehkan menyimpan mushhaf Al-Quran di dalam HP dan membaca darinya.(Fatwa beliau bisa di dengar disini: http://www.alfawzan.ws/AlFawzan/FatawaSearch/tabid/70/Default.aspx?PageID=5321 )
Hanya yang perlu diperhatikan, jangan menggunakan Al-Quran sebagai nada dering karena Al-Quran tidak diturunkan untuk yang demikian, dan ini bukan termasuk memuliakan syiar-syiar Allah.
Berkata Syeikh Shalih bin Fauzan:
لا يجوز استعمال الأذكار ولا سيما القرآن الكريم في الجوالات بدلاً عن المنبِّه الذي يتحرّك عند المكالمة ، فيضع منبّهًا ليس فيه نغمة موسيقى ، وإنما هو منبِّه عادي ، كمنبِّه الساعة مثلاً ، أو الجرس الخفيف ، وأما وضع الأذكار والقرآن والأذان محلّ ذلك ، فهذا مِن التنطّع ، ومِن الاستهانة بالقرآن وبهذه الأذكار
"Tidak boleh menggunakan dzikir-dzikir, khususnya Al-Quran Al-Karim di dalam handphone sebagai ganti dari nada dering yang muncul ketika ada yang mau berbicara. Hendaknya memasang nada dering biasa, yang tidak ada musiknya, seperti nada dering jam, atau suara lonceng yang ringan. Adapun menggunakan dzikir , Al-Quran, dan adzan maka ini termasuk berlebih-lebihan dan termasuk penghinaan terhadap Al-Quran dan dzikir-dzikir tersebut. (Fatwa beliau bisa di dengar disini: http://www.alfawzan.ws/AlFawzan/sounds/00057-03.ra)
Demikian pula ketika memasuki kamar kecil /WC hendaknya program mushhaf Al-Qurannya dimatikan baik suara maupun tulisan.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya tentang membawa kaset murattal ke dalam kamar kecil:
لا بأس أن يدخل الحمام ومعه شريط سجل عليه شيء من القرآن؛ وذلك لأن الحروف لا تظهر على هذا الشريط، ولا يبين إلا الصوت إذا مر الشريط على الجهاز الذي يظهر به الصوت، فلا حرج أن يكون مع الإنسان أشرطة فيها قرآن، أو حديث، أو غيره؛ ويدخل بها الخلاء. ......
"Tidak mengapa masuk ke dalam kamar kecil dengan membawa kaset yang terekam sebagian Al-Quran di dalamnya, yang demikian karena huruf-hurufnya tidak nampak di kaset, demikian pula suaranya tidak muncul kecuali kalau memakai alat yang memunculkan suara. Maka tidak mengapa seseorang membawa kaset yang di dalamnya ada Al-Quran, atau hadist, atau selainnya, ke dalam kamar kecil" (Liqa' Bab Al-Maftuh )
Wallahu a'lam.
Sumber : http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/07/menyimpan-al-quran-di-dalam-handphone.html
Label:
Fiqih
22.32
Pentingnya Ukhuwah
Oleh : Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Terwujudnya Ukhuwah Islamiyah merupakan dambaan setiap Muslim. Hanya sayang, pengertian ukhuwah sudah menjadi kabur dan hanya merupakan istilah global yang diucapkan berulang-ulang tanpa makna. Misalnya, seseorang mengajak berukhuwah, namun sebentar kemudian ia sudah memancing perseteruan dengan melancarkan cercaan kepada para ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Padahal justru merekalah yang seharusnya menjadi poros paling utama untuk mendapatkan ikatan ukhuwah dan kecintaan sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terdahulu. Tetapi demikianlah, banyak orang yang sikap dan orientasinya terkungkung oleh opini fanatisme golongan. Bagaimanapun masalah ukhuwah (persaudaraan) dan persatuan ini merupakan masalah yang sangat penting.
Sesungguhnya Islam sangat menekankan persaudaraan dan persatuan. Bahkan Islam itu sendiri datang untuk mempersatukan pemeluk-pemeluknya, bukan untuk memecah belah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, dalam al-Ushûlus-Sittah, pada pokok yang kedua,[1] mengatakan: "Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar (umat Islam) bersatu di dalam agama dan melarang berpecah belah di dalamnya. Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang sangat terang dan mudah dipahami oleh orang-orang awam. Allah Azza wa Jalla melarang kita menjadi seperti orang-orang sebelum kita yang berpecah belah dan berselisih dalam urusan agama hingga mereka hancur karenanya."
Masalah persatuan ini, oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah diangkat sebagai masalah pokok di antara enam pokok yang beliau rahimahullah angkat. Demikian pula, para ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah pun memandang penting masalah ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah dalam syarahnya terhadap kitab ini menyebutkan dalil-dalilnya dari al-Qur'ân, Sunnah, kehidupan praktis para sahabat dan Salafus Shâlih.[2]
Adapun dalil dari al-Qur'ân, di antaranya firman Allah Azza wa Jalla:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah, menjadilah kamu orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [Ali Imrân/3:103]
Imam ath-Thabariy dalam tafsirnya mengatakan [3] : "Yang diinginkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan ayat ini ialah: Berpeganglah kalian pada agama dan ketetapan Allah Azza wa Jalla yang dengan agama serta ketetapan itu Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan agar kalian bersatu padu dalam satu kalimatul haq (kebenaran) dan menyerah pada perintah Allah Azza wa Jalla ".
Kemudian tentang firman Allah Azza wa Jalla pada ayat ini yang berbunyi:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
dan ingatlah akan nikmat Allah Azza wa Jallaepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah, menjadilah kamu orang yang bersaudara.[Ali Imrân/3:103]
Imam ath-Thabariy rahimahullah mengatakan: "Tafsir ayat ini ialah: Ingatlah wahai kaum Mukminin akan nikmat Allah Azza wa Jalla yang telah dianugerahkan kepada kalian! Yaitu manakala kalian saling bermusuhan karena kemusyrikan kalian; kalian saling membunuh satu sama lain disebabkan fanatisme golongan, dan bukan disebabkan taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. (Ingatlah ketika itu!-pen) Allah Azza wa Jalla kemudian mempersatukan hati-hati kalian dengan datangnya Islam. Maka Allah Azza wa Jalla jadikan sebagian kalian sebagai saudara bagi sebagian yang lain, padahal sebelumnya kalian saling bermusuhan. Kalian saling berhubungan berdasarkan persatuan Islam dan kalian bersatu padu di dalam Islam.[4]
Demikianlah keadaan penduduk Madinah yang secara umum dihuni dua kabilah besar yaitu Aus dan Khazraj. Sebelum kedatangan Islam mereka selalu saling berperang dan bermusuhan tanpa henti. Namun sesudah kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka menjadi bersaudara.
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan: "Konteks firman Allah Azza wa Jalla di atas, berkenaan dengan keadaan orang-orang Aus dan Khazraj. Sesungguhnya pada zaman jahiliyah dua kabilah itu sangat sering terlibat dalam pertempuran, permusuhan keras, kebencian, dengki dan dendam. Karenanya mereka terperangkap dalam peperangan terus menerus tanpa berkesudahan. Ketika Allah Azza wa Jalla mendatangkan Islam, maka masuklah sebagian besar dari mereka ke dalam Islam. Akhirnya mereka hidup bersaudara, saling menyintai berdasarkan keagungan Allah Azza wa Jalla , saling berhubungan berlandaskan (keyakinan atas) Dzat Allah Azza wa Jalla , dan saling tolong menolong dalam ketaqwaan serta kebaikan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mukmin. Dan Allah mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan segala apa yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah yang mempersatukan hati mereka. [al-Anfâl/8: 62-63].[5]
Berkenaan dengan Surat al-Anfâl ayat 63 yang dibawakan oleh Ibnu Katsîr di atas, Abu ath-Thayyib Shiddîq bin Hasan al-Qanûji al-Bukhâri (wafat 1307) dalam tafsirnya mengatakan:[6]
"Jumhur Ahli Tafsir mengatakan: ‘Yang dimaksud (dengan ayat 63 Surat al-Anfâl) adalah orang-orang Aus dan Khazraj. Sesungguhnya dahulu mereka terkungkung dalam fanatisme golongan yang berat, saling mengagulkan diri, saling dikuasai kedengkian meskipun hanya dalam urusan yang paling sepele, dan saling berperang hingga memakan waktu 120 tahun. Hampir tidak pernah ada dua hati yang bisa saling bersatu dalam dua kabilah tersebut. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla mempersatukan hati-hati mereka dengan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berbaliklah kondisi buruk mereka menjadi baik, bersatulah kalimat mereka dan lenyaplah fanatisme yang ada pada mereka. Berganti pula sifat-sifat iri mereka dengan cinta kasih karena Allah Azza wa Jalla dan di jalan Allah Azza wa Jalla . Mereka semua sepakat untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla hingga jadilah mereka sebagai pembela-pembela yang berperang untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali Imrân/3:105]
Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: [7] "Yang dimaksudkan oleh Allah Azza wa Jalla ialah: Wahai orang-orang yang beriman! janganlah menjadi seperti orang-orang Ahli Kitab, yang berpecah belah dan berselisih dalam agama, perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas berupa bukti-bukti dari Allah Azza wa Jalla . Mereka berselisih di dalamnya. Mereka memahami kebenaran tetapi mereka sengaja menentangnya, menyelisihi perintah Allah Azza wa Jalla dan membatalkan ikatan perjanjian yang dibuat oleh Allah Azza wa Jalla dengan lancang.
Orang-orang Ahlu Kitab yang berpecah belah dan berselisih dalam agama Allah Azza wa Jalla sesudah datangnya kebenaran itu akan mendapat azab yang berat.
Jadi maksud firman Allah Azza wa Jalla di atas adalah: “Kalian wahai kaum mukminin, janganlah berpecah belah dalam agama kalian seperti mereka berpecah belah dalam agama mereka. Janganlah kalian berbuat dan mempunyai kebiasaan seperti perbuatan dan kebiasaan mereka. Sehingga jika demikian kalian akan mendapatkan azab yang berat seperti azab yang mereka dapatkan"
Makna yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas antara lain bahwa kaum Muslimin dilarang berselisih pemahaman dalam masalah agama, sebab yang demikian itu akan mengakibatkan perselisihan dan perpecahan fisik.
Imam asy-Syâthibi rahimahullah dalam al-I'tishâm menjelaskan bahwa, perpecahan fisik (tafarruq), adalah akibat ikhtilâf (perselisihan) mazhab dan ikhtilâf pemikiran. Itu jika kita jadikan kalimat tafarruq bermakna perpecahan fisik. Inilah makna hakiki dari tafarruq. Namun jika kita jadikan makna tafarruq adalah perselisihan mazhab, maka maknanya sama dengan ikhtilâf, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.[8].
Demikianlah beberapa dalil dari al-Qur'ânul-Karîm.
Adapun dalil dari Sunnah bagi pokok yang agung ini, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. اَلتَّقْوَى هَهُنَا. يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ : بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya, merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Taqwa adalah di sini. – Beliau menunjuk dadanya sampai tiga kali-. (kemudian beliau bersabda lagi:) Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila meremehkan saudaranya sesama muslim. Seorang Muslim terhadap Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. [HR. Muslim][9]
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَتَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki dan saling membelakangi. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara[Muttafaq 'Alai] [10]
Hadits-hadits senada sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Seorang mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu sama lain saling menguatkan. [Muttafaq 'Alaihi].[11]
Dalam riwayat Bukhâri ada tambahan:
وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan jari jemari kedua tangannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang dibawakan oleh an-Nu'mân bin Basyîr Radhiyallahu anhu :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِي وَمُسْلِمٌ (وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ).
Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur. [HR. Bukhâri dan Muslim, sedangkan lafalnya adalah lafazh Imam Muslim].[12]
Itulah beberapa dalil yang menekankan pentingnya ukhuwah dan persatuan. Para Ulama Salaf pun sangat memperhatikan masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah menjelaskan tentang pentingnya persatuan dengan mengatakan: "Sesungguhnya di antara pokok sikap Ahlu Sunnah dalam masalah khilâfiyah ialah, bahwa selama perselisihan pendapat itu lahir karena ijtihad (dari orang yang berhak berijtihad-pen) dan masalahnya memang masih dalam batas yang diperbolehkan untuk diijtihadkan, maka para Salafush-Shalih saling memaklumi pendapat satu sama lain. Dan hal itu tidak menyebabkan adanya kedengkian, permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan mereka meyakini bahwa mereka harus tetap bersaudara meskipun terjadi perselisihan pendapat di antara mereka. Seseorang yang berpendapat bahwa memakan daging onta membatalkan wudhu' tetap bermakmum kepada imam shalat yang habis memakan daging onta dan yang berpendapat bahwa itu tidak membatalkan wudhu'."[13]
Selanjutnya beliau rahimahullah melengkapi perkataannya: "Adapun masalah yang tidak boleh diperselisihkan di dalamnya, adalah masalah yang menyelisihi manhaj (pola dan sunnah) para sahabat dan tabi'in. Misalnya masalah aqidah yang ternyata banyak orang tersesat di dalamnya. Perselisihan dalam masalah akidah ini terjadi dan berkembang pada masa sesudah berlalunya generasi Sahabat.[14]
Jadi, pada masalah-masalah pokok yang tidak boleh diperselisihkan, tidak ada toleransi di dalamnya; orang yang menyelisihinya berarti menyimpang.
Demikianlah, Islam datang untuk mempersatukan umatnya, bukan untuk memecah belah. Nash-nash di atas dan pernyataan para Salafush Shâlih sangat jelas bahwa umat Islam dituntut untuk bersaudara dan bersatu padu di bawah naungan Islam, dan berlandaskan prinsip-prinsip kebenaran. Kaum Muslimin harus satu manhaj dan satu persepsi dalam memahami al-Qur'ân dan Sunnah.
Persatuan dan persaudaraan tidak berarti mengabaikan teguran kepada yang berbuat salah, apalagi berbuat bid'ah. Yang penting harus sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalam hal lemah-lembut atau dalam cara keras.
Saling ingat-mengingatkan supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran harus tetap berjalan, sebab hal itupun merupakan perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [al-Ashr/103:1-3]
Namun adalah keterlaluan jika ada seorang Muslim yang bersemangat mengajak persaudaraan, akan tetapi kenyataannya ia malahan menjadikan sasaran bidik caci maki, cercaan dan tuduhan salahnya kepada para ulama serta masyarakat yang bermanhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Sebaliknya ia malah menjalin hubungan erat atau mengagumi para ahli bid'ah dan provokator perpecahan. Wallâhul-Musta'ân.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhât, wa Yalîhi Syarhul Ushûlus Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah, I'dâd: Fahd bin Nâshir as-Sulaimân, Dâruts Tsurayya – Riyâdh, cet. IV – 1426 H/2005 M, hal. 151
[2]. Ibid hal.151-157.
[3]. Lihat Tafsiruth Thabari, Dâr Ihyâ' it-Turâts al-'Arabi, IV/hal. 42, cet. I -1421 H/2001 M
[4]. Lihat kitab Tafsîruth-Thabari yang sama, hal. 45-46.
[5]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr tentang Surat Ali Imrân: 103
[6]. Fathul Bayân Fî Maqâshidil Qur'ân, Mansyûrât Muhammad 'Ali Baidhûn, Dârul Kutub al-'Ilmiyah Beirut, cet. I – 1420 H/1999 M, Juz I hal. 55
[7]. Lihat Tafsiruth Thabari hal. 52 dengan terjemah bebas.
[8]. Al-I'tishâm karya Imam asy-Syâthibi, tahqîq: Syaikh Salîm bin 'îd al-Hilâliy, hal. 669-670.
[9]. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, Dârul-Ma'rifah, Beirut, Libanon, XVI/336-337, cet. III – 1417 H/1996 M. Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wa al-Adâb, no. 6487.
[10]. Lihat Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, X/492, Kitab al-Adab, bab : 62, no. 6076. Dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, Dârul-Ma'rifah, Beirut, Libanon, XVI/331-332, cet. III – 1417 H/1996 M. Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wa al-Adâb, no. 6473.
[11]. Lihat Fathul-Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, X/449-450, Kitab al-Adab, bab : 36, no. 6026. Dan Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, XVI/335, Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wal Adâb, no. 6528.
[12]. Lihat Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, X/438, Kitab al-Adab, bab : 27, no. 6011. Dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, XVI/356, Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wa al-Adâb, no. 6529.
[13]. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhât, wa Yalîhi Syarhul Ushûlis Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah , I'dâd: Fahd bin Nâshir as-Sulaimân, Dâruts Tsurayya Riyâdh, cet. IV – 1426 H/2005 M, hal. 155 dengan terjemah bebas dan ringkas.
[14]. Idem hal 156
Terwujudnya Ukhuwah Islamiyah merupakan dambaan setiap Muslim. Hanya sayang, pengertian ukhuwah sudah menjadi kabur dan hanya merupakan istilah global yang diucapkan berulang-ulang tanpa makna. Misalnya, seseorang mengajak berukhuwah, namun sebentar kemudian ia sudah memancing perseteruan dengan melancarkan cercaan kepada para ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Padahal justru merekalah yang seharusnya menjadi poros paling utama untuk mendapatkan ikatan ukhuwah dan kecintaan sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terdahulu. Tetapi demikianlah, banyak orang yang sikap dan orientasinya terkungkung oleh opini fanatisme golongan. Bagaimanapun masalah ukhuwah (persaudaraan) dan persatuan ini merupakan masalah yang sangat penting.
Sesungguhnya Islam sangat menekankan persaudaraan dan persatuan. Bahkan Islam itu sendiri datang untuk mempersatukan pemeluk-pemeluknya, bukan untuk memecah belah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, dalam al-Ushûlus-Sittah, pada pokok yang kedua,[1] mengatakan: "Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar (umat Islam) bersatu di dalam agama dan melarang berpecah belah di dalamnya. Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang sangat terang dan mudah dipahami oleh orang-orang awam. Allah Azza wa Jalla melarang kita menjadi seperti orang-orang sebelum kita yang berpecah belah dan berselisih dalam urusan agama hingga mereka hancur karenanya."
Masalah persatuan ini, oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah diangkat sebagai masalah pokok di antara enam pokok yang beliau rahimahullah angkat. Demikian pula, para ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah pun memandang penting masalah ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah dalam syarahnya terhadap kitab ini menyebutkan dalil-dalilnya dari al-Qur'ân, Sunnah, kehidupan praktis para sahabat dan Salafus Shâlih.[2]
Adapun dalil dari al-Qur'ân, di antaranya firman Allah Azza wa Jalla:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah, menjadilah kamu orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [Ali Imrân/3:103]
Imam ath-Thabariy dalam tafsirnya mengatakan [3] : "Yang diinginkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan ayat ini ialah: Berpeganglah kalian pada agama dan ketetapan Allah Azza wa Jalla yang dengan agama serta ketetapan itu Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan agar kalian bersatu padu dalam satu kalimatul haq (kebenaran) dan menyerah pada perintah Allah Azza wa Jalla ".
Kemudian tentang firman Allah Azza wa Jalla pada ayat ini yang berbunyi:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
dan ingatlah akan nikmat Allah Azza wa Jallaepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah, menjadilah kamu orang yang bersaudara.[Ali Imrân/3:103]
Imam ath-Thabariy rahimahullah mengatakan: "Tafsir ayat ini ialah: Ingatlah wahai kaum Mukminin akan nikmat Allah Azza wa Jalla yang telah dianugerahkan kepada kalian! Yaitu manakala kalian saling bermusuhan karena kemusyrikan kalian; kalian saling membunuh satu sama lain disebabkan fanatisme golongan, dan bukan disebabkan taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. (Ingatlah ketika itu!-pen) Allah Azza wa Jalla kemudian mempersatukan hati-hati kalian dengan datangnya Islam. Maka Allah Azza wa Jalla jadikan sebagian kalian sebagai saudara bagi sebagian yang lain, padahal sebelumnya kalian saling bermusuhan. Kalian saling berhubungan berdasarkan persatuan Islam dan kalian bersatu padu di dalam Islam.[4]
Demikianlah keadaan penduduk Madinah yang secara umum dihuni dua kabilah besar yaitu Aus dan Khazraj. Sebelum kedatangan Islam mereka selalu saling berperang dan bermusuhan tanpa henti. Namun sesudah kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka menjadi bersaudara.
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan: "Konteks firman Allah Azza wa Jalla di atas, berkenaan dengan keadaan orang-orang Aus dan Khazraj. Sesungguhnya pada zaman jahiliyah dua kabilah itu sangat sering terlibat dalam pertempuran, permusuhan keras, kebencian, dengki dan dendam. Karenanya mereka terperangkap dalam peperangan terus menerus tanpa berkesudahan. Ketika Allah Azza wa Jalla mendatangkan Islam, maka masuklah sebagian besar dari mereka ke dalam Islam. Akhirnya mereka hidup bersaudara, saling menyintai berdasarkan keagungan Allah Azza wa Jalla , saling berhubungan berlandaskan (keyakinan atas) Dzat Allah Azza wa Jalla , dan saling tolong menolong dalam ketaqwaan serta kebaikan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mukmin. Dan Allah mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan segala apa yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah yang mempersatukan hati mereka. [al-Anfâl/8: 62-63].[5]
Berkenaan dengan Surat al-Anfâl ayat 63 yang dibawakan oleh Ibnu Katsîr di atas, Abu ath-Thayyib Shiddîq bin Hasan al-Qanûji al-Bukhâri (wafat 1307) dalam tafsirnya mengatakan:[6]
"Jumhur Ahli Tafsir mengatakan: ‘Yang dimaksud (dengan ayat 63 Surat al-Anfâl) adalah orang-orang Aus dan Khazraj. Sesungguhnya dahulu mereka terkungkung dalam fanatisme golongan yang berat, saling mengagulkan diri, saling dikuasai kedengkian meskipun hanya dalam urusan yang paling sepele, dan saling berperang hingga memakan waktu 120 tahun. Hampir tidak pernah ada dua hati yang bisa saling bersatu dalam dua kabilah tersebut. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla mempersatukan hati-hati mereka dengan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berbaliklah kondisi buruk mereka menjadi baik, bersatulah kalimat mereka dan lenyaplah fanatisme yang ada pada mereka. Berganti pula sifat-sifat iri mereka dengan cinta kasih karena Allah Azza wa Jalla dan di jalan Allah Azza wa Jalla . Mereka semua sepakat untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla hingga jadilah mereka sebagai pembela-pembela yang berperang untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali Imrân/3:105]
Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: [7] "Yang dimaksudkan oleh Allah Azza wa Jalla ialah: Wahai orang-orang yang beriman! janganlah menjadi seperti orang-orang Ahli Kitab, yang berpecah belah dan berselisih dalam agama, perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas berupa bukti-bukti dari Allah Azza wa Jalla . Mereka berselisih di dalamnya. Mereka memahami kebenaran tetapi mereka sengaja menentangnya, menyelisihi perintah Allah Azza wa Jalla dan membatalkan ikatan perjanjian yang dibuat oleh Allah Azza wa Jalla dengan lancang.
Orang-orang Ahlu Kitab yang berpecah belah dan berselisih dalam agama Allah Azza wa Jalla sesudah datangnya kebenaran itu akan mendapat azab yang berat.
Jadi maksud firman Allah Azza wa Jalla di atas adalah: “Kalian wahai kaum mukminin, janganlah berpecah belah dalam agama kalian seperti mereka berpecah belah dalam agama mereka. Janganlah kalian berbuat dan mempunyai kebiasaan seperti perbuatan dan kebiasaan mereka. Sehingga jika demikian kalian akan mendapatkan azab yang berat seperti azab yang mereka dapatkan"
Makna yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas antara lain bahwa kaum Muslimin dilarang berselisih pemahaman dalam masalah agama, sebab yang demikian itu akan mengakibatkan perselisihan dan perpecahan fisik.
Imam asy-Syâthibi rahimahullah dalam al-I'tishâm menjelaskan bahwa, perpecahan fisik (tafarruq), adalah akibat ikhtilâf (perselisihan) mazhab dan ikhtilâf pemikiran. Itu jika kita jadikan kalimat tafarruq bermakna perpecahan fisik. Inilah makna hakiki dari tafarruq. Namun jika kita jadikan makna tafarruq adalah perselisihan mazhab, maka maknanya sama dengan ikhtilâf, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.[8].
Demikianlah beberapa dalil dari al-Qur'ânul-Karîm.
Adapun dalil dari Sunnah bagi pokok yang agung ini, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. اَلتَّقْوَى هَهُنَا. يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ : بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya, merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Taqwa adalah di sini. – Beliau menunjuk dadanya sampai tiga kali-. (kemudian beliau bersabda lagi:) Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila meremehkan saudaranya sesama muslim. Seorang Muslim terhadap Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. [HR. Muslim][9]
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَتَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki dan saling membelakangi. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara[Muttafaq 'Alai] [10]
Hadits-hadits senada sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Seorang mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu sama lain saling menguatkan. [Muttafaq 'Alaihi].[11]
Dalam riwayat Bukhâri ada tambahan:
وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan jari jemari kedua tangannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang dibawakan oleh an-Nu'mân bin Basyîr Radhiyallahu anhu :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِي وَمُسْلِمٌ (وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ).
Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur. [HR. Bukhâri dan Muslim, sedangkan lafalnya adalah lafazh Imam Muslim].[12]
Itulah beberapa dalil yang menekankan pentingnya ukhuwah dan persatuan. Para Ulama Salaf pun sangat memperhatikan masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah menjelaskan tentang pentingnya persatuan dengan mengatakan: "Sesungguhnya di antara pokok sikap Ahlu Sunnah dalam masalah khilâfiyah ialah, bahwa selama perselisihan pendapat itu lahir karena ijtihad (dari orang yang berhak berijtihad-pen) dan masalahnya memang masih dalam batas yang diperbolehkan untuk diijtihadkan, maka para Salafush-Shalih saling memaklumi pendapat satu sama lain. Dan hal itu tidak menyebabkan adanya kedengkian, permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan mereka meyakini bahwa mereka harus tetap bersaudara meskipun terjadi perselisihan pendapat di antara mereka. Seseorang yang berpendapat bahwa memakan daging onta membatalkan wudhu' tetap bermakmum kepada imam shalat yang habis memakan daging onta dan yang berpendapat bahwa itu tidak membatalkan wudhu'."[13]
Selanjutnya beliau rahimahullah melengkapi perkataannya: "Adapun masalah yang tidak boleh diperselisihkan di dalamnya, adalah masalah yang menyelisihi manhaj (pola dan sunnah) para sahabat dan tabi'in. Misalnya masalah aqidah yang ternyata banyak orang tersesat di dalamnya. Perselisihan dalam masalah akidah ini terjadi dan berkembang pada masa sesudah berlalunya generasi Sahabat.[14]
Jadi, pada masalah-masalah pokok yang tidak boleh diperselisihkan, tidak ada toleransi di dalamnya; orang yang menyelisihinya berarti menyimpang.
Demikianlah, Islam datang untuk mempersatukan umatnya, bukan untuk memecah belah. Nash-nash di atas dan pernyataan para Salafush Shâlih sangat jelas bahwa umat Islam dituntut untuk bersaudara dan bersatu padu di bawah naungan Islam, dan berlandaskan prinsip-prinsip kebenaran. Kaum Muslimin harus satu manhaj dan satu persepsi dalam memahami al-Qur'ân dan Sunnah.
Persatuan dan persaudaraan tidak berarti mengabaikan teguran kepada yang berbuat salah, apalagi berbuat bid'ah. Yang penting harus sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalam hal lemah-lembut atau dalam cara keras.
Saling ingat-mengingatkan supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran harus tetap berjalan, sebab hal itupun merupakan perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [al-Ashr/103:1-3]
Namun adalah keterlaluan jika ada seorang Muslim yang bersemangat mengajak persaudaraan, akan tetapi kenyataannya ia malahan menjadikan sasaran bidik caci maki, cercaan dan tuduhan salahnya kepada para ulama serta masyarakat yang bermanhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Sebaliknya ia malah menjalin hubungan erat atau mengagumi para ahli bid'ah dan provokator perpecahan. Wallâhul-Musta'ân.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhât, wa Yalîhi Syarhul Ushûlus Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah, I'dâd: Fahd bin Nâshir as-Sulaimân, Dâruts Tsurayya – Riyâdh, cet. IV – 1426 H/2005 M, hal. 151
[2]. Ibid hal.151-157.
[3]. Lihat Tafsiruth Thabari, Dâr Ihyâ' it-Turâts al-'Arabi, IV/hal. 42, cet. I -1421 H/2001 M
[4]. Lihat kitab Tafsîruth-Thabari yang sama, hal. 45-46.
[5]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr tentang Surat Ali Imrân: 103
[6]. Fathul Bayân Fî Maqâshidil Qur'ân, Mansyûrât Muhammad 'Ali Baidhûn, Dârul Kutub al-'Ilmiyah Beirut, cet. I – 1420 H/1999 M, Juz I hal. 55
[7]. Lihat Tafsiruth Thabari hal. 52 dengan terjemah bebas.
[8]. Al-I'tishâm karya Imam asy-Syâthibi, tahqîq: Syaikh Salîm bin 'îd al-Hilâliy, hal. 669-670.
[9]. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, Dârul-Ma'rifah, Beirut, Libanon, XVI/336-337, cet. III – 1417 H/1996 M. Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wa al-Adâb, no. 6487.
[10]. Lihat Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, X/492, Kitab al-Adab, bab : 62, no. 6076. Dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, Dârul-Ma'rifah, Beirut, Libanon, XVI/331-332, cet. III – 1417 H/1996 M. Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wa al-Adâb, no. 6473.
[11]. Lihat Fathul-Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, X/449-450, Kitab al-Adab, bab : 36, no. 6026. Dan Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, XVI/335, Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wal Adâb, no. 6528.
[12]. Lihat Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, X/438, Kitab al-Adab, bab : 27, no. 6011. Dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, XVI/356, Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wa al-Adâb, no. 6529.
[13]. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhât, wa Yalîhi Syarhul Ushûlis Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah , I'dâd: Fahd bin Nâshir as-Sulaimân, Dâruts Tsurayya Riyâdh, cet. IV – 1426 H/2005 M, hal. 155 dengan terjemah bebas dan ringkas.
[14]. Idem hal 156
22.26
Siapakah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab?
Oleh : Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab berasal dari keluarga (Ali) Musyarraf. Sedangkan keluarga Musyarraf merupakan cabang dari keluarga (Ali) Wuhabah. Dan keluarga Wuhabah adalah salah satu dari keluarga besar kabilah Bani Tamim yang terkenal.[1]
Musyarraf, menurut riwayat yang rajih, adalah kakek Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab yang kesembilan. Jadi nama lengkap beliau adalah: Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf.[2]
Beliau berasal dari keluarga yang dikenal sebagai keluarga para Ulama. Dan pada abad ke XI Hijriyah, Ulama paling terkenal yang ada di Najed adalah kakek langsung beliau, yaitu Sulaiman bin ‘Ali yang menjabat sebagai Qadhi (hakim agama) di Raudhah Sudair. Setelah berhenti, beliau pindah ke ‘Uyainah dan menjabat sebagai Qadhi pula serta menjadi Syaikh (guru ilmu-ilmu syar’i) bagi sejumlah penuntut ilmu. Di antara penuntut ilmu syar’i itu adalah dua orang puteranya yang bernama ‘Abdul-Wahhab (ayah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab) dan Ibrahim (paman beliau). Kelak ‘Abdul-Wahhab pun menjadi seorang ‘alim yang kemudian menduduki jabatan Qadhi di ‘Uyainah, sungguhpun tidak sebesar tingkat keilmuan ayahnya (Sulaiman).[3]
Singkat kata, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah dilahirkan di tengah keluarga Ulama yang bila ditinjau dari sisi kedudukan, berasal dari keluarga terpandang, dan bila ditinjau dari sisi ekonomi juga bukan dari keluarga miskin, karena orang tua maupun kakeknya adalah Qadhi. Beliau dilahirkan di ‘Uyainah pada tahun 1115 H, atau kurang lebih tahun 1703 M.[4]
Demikian sekilas tentang nama, kelahiran serta keluarga tokoh Ulama mujaddid abad XII H, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah.
BENARKAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ‘ABDUL-WAHHAB TIDAK MEMILIKI GURU?
Ada dua kemungkinan ketika orang berbicara miring tentang seseorang.
Kemungkinan Pertama : Ia benar-benar tidak mengerti dan mengenal seseorang tersebut. Jika inilah kemungkinannya, mestinya ia tidak boleh berbicara tentangnya. Sebab berarti ia hanya berbicara secara serampangan, tidak berdasarkan ilmu. Orang-orang yang mengerti akan menertawakannya.
Kemungkinan Kedua : Ia mengerti tetapi sangat membenci dan mendendamnya, sehingga yang dikatakannya tentang orang itu keluar dari hati yang penuh kedengkian. Jika demikian halnya, maka bisa dipastikan bahwa sebagian besar kata-katanya akan diwarnai kedustaan dalam rangka menjatuhkan orang yang sangat dibencinya itu.
Tampaknya demikianlah kata-kata miring tentang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah, hanya berasal dari salah satu dari dua kemungkinan di atas atau dua-duanya. Untuk itu perlu pemaparan serba sedikit tentang perjalanan beliau rahimahullah menuntut ilmu.
Masa kecil Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahulla lebih banyak dipergunakan untuk mempelajari al-Qur’an, tidak banyak dipergunakan untuk bermain-main bersama teman sebayanya, sehingga beliau telah hafal al-Qur’an sebelum umurnya mencapai 10 tahun. Beliau memiliki ketajaman pemahaman yang luar biasa, cerdas, cepat menghafal dan fasih pengucapan kata-katanya.[5]
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, beliau rahimahullah lahir dari keluarga Ulama. Kakeknya seorang alim besar di zamannya dan juga seorang Qadhi, demikian pula ayahnya. Maka jelas, beliau hidup dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Ulama. Sehingga wajar semenjak kecilnya beliau rahimahullah sudah memiliki motivasi menuntut ilmu syar’i yang tinggi.
Sebelum beliau rahimahullah melakukan perjalanan jauh ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu, hal yang pertama kali beliau lakukan adalah menyibukkan diri dengan sungguh-sungguh menggali ilmu agama dari ayahnya sendiri. Maka dasar-dasar ilmu yang kuat sudah beliau miliki semenjak umur beliau berkisar antara sepuluh tahun di ‘Uyainah, salah satu daerah di Najed. Ayahnya sampai terrheran-heran melihat semangat serta kecerdasan beliau [6]. Bahkan ayahnya sempat berkata,”Aku benar-benar dapat mengambil banyak faidah hukum dari Muhammad, anakku.” Atau kata-kata senada.[7]
Beliau rahimahullah mencapai usia baligh sebelum usianya genap 12 (dua belas) tahun. Pada usia itu, sesudah usianya baligh, beliau sudah disuruh menjadi imam shalat oleh ayahnya, dan ayahnya pun menikahkannya.[8] Di sini jelas bahwa ayahnya merupakan salah satu gurunya.
Setelah itu, pada usia yang sama, beliau rahimahullah pergi haji memenuhi rukun Islam yang kelima dan selanjutnya beliau rahimahullah mengunjungi kota Madinah dan menetap di sana selama dua bulan, baru sesudah itu beliau kembali ke kampung halamannya.[9] Itu adalah perjalanan ibadah haji pertama beliau.[10] Dan tampaknya, selama dua bulan beliau tinggal di Madinah beliau sempat menghadiri beberapa pelajaran dari beberapa Ulama di Masjid Nabawi. Tetapi yang paling berpengaruh bagi beliau adalah ketika beliau bertemu dengan dua orang ulama besar yang kelak menjadi guru-gurunya pula pada pengembaraan ilmiah berikutnya, yaitu Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.[11]
Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif adalah seorang Ulama yang ahli dalam bidang fiqih Hanbali dan dalam bidang hadits. Juga pengagum Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.[12] Berasal dari keluarga Al-Saif yang selalu menjadi kepala pemerintahan di daerah Majma’ah, suatu daerah yang ada di wilayah Sudair di Najed.[13] Beliau juga adalah ayah dari Syaikh Ibrahim bin ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif, penyusun Kitab al-‘Adzbu al-Faidh, Syarh Alfiyati al-Fara-idh.[14]
Sedangkan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi adalah seorang Ulama bidang hadits, berasal dari Sindustan yang kemudian menetap dan wafat di Madinah.[15] Di samping sebagai seorang tokoh Ulama bidang hadits dan ‘Ulum al-Hadits, beliau juga seorang tokoh penyeru ijtihad dalam masalah syari’at, dan penentang ta’ash-shub madzhabi (fantisme madzhab). Beliaupun dikenal sebagai orang yang paling keras memerangi bid’ah dan perbuatan-perbuatan yang bisa menjadi tangga menuju syirik.[16]
Sepulang dari perjalanan itu beliau lebih bersemangat lagi menuntut ilmu. Di samping memperdalam ilmu fiqih madzhab Ahmad bin Hanbal kepada ayahnya, beliau juga rajin mempelajari kitab tafsir, hadits dan tauhid serta menelaah pendapat para Ulama.[17]
Selanjutnya beliau mengembara untuk menuntut ilmu syar’i ke berbagai negeri yang berdekatan dan berguru kepada para Ulama besar di negeri-negeri tersebut. Beliau pergi ke Hijaz dan Bashrah beberapa kali, juga ke Ahsa’.[18] Pada pengembaraan yang memakan waktu lebih panjang inilah beliau secara lebih mendalam mempelajari ilmu-ilmu syar’i kepada para Ulama gurunya. Sebagian di antaranya adalah para Ulama terkenal yang sudah disebut namanya di atas.
Sementara di Bashrah, beliau berguru pula kepada banyak Ulama tentang hadits dan fiqih. Juga tentang ilmu nahwu hingga betul-betul menguasainya.[19] Salah satu di antara Ulama itu berasal dari daerah Majmu’ah di Bashrah, yaitu Syaikh Muhammad al-Majmu’i, seorang Ulama yang beserta anak-anaknya termasuk keluarga yang terkenal sebagai orang-orang shalih dan berpegang pada ajaran tauhid.[20]20 Sedangkan di Asha’, beliau juga bertemu dengan para Ulama, di antaranya Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Lathif asy-Syafi’i al-Ashsa-i.[21]
Jadi tidak benar kalau beliau dinyatakan tidak mempunyai guru. Bahkan guru-guru beliau cukup banyak, dan merupakan para Ulama yang dikenal di zaman itu, baik di ‘Uyainah, Madinah, Bashrah, Ahsa’ maupun di tempat lain. Yang sangat menonjol di antara guru-guru beliau, adalah yang sudah disebutkan di atas. Bahkan beliau juga mendapat ijazah dan sanad, di antaranya dalam riwayat hadits, dari Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi al-Madani.[22]
BENARKAH BELIAU TIDAK MEMILIKI KARYA MONUMENTAL?
Karena kondisi masyarakat yang menuntut beliau sibuk terjun langsung menangani dakwah, maka beliau memang tidak menyusun kitab karya besar yang berjilid-jilid. Tetapi bukan berarti bahwa karya beliau tidak memiliki karya-karya monumental. Meskipun banyak di antara karyanya yang ringkas dan padat, tetapi ternyata banyak Ulama yang kemudian mensyarah karya-karya ringkas beliau. Banyak karya ringkasnya memiliki lebih dari satu syarah dari para Ulama. Mengapa? Tentu karena pentingnya karya yang beliau susun. Singkat namun sarat berisi pelajaran yang perlu digali, dikaji dan disampaikan kepada khalayak.
Sebagai contoh, kitab karya beliau yang berjudul Kitab at-Tauhid al-Ladzi Huwa haqqullah ‘ala al-‘Abid, lebih dari lima orang Ulama yang telah mensyarahnya, dan kitab asli maupun kitab syarahnya selalu dikaji semenjak dahulu hingga sekarang. Demikian pula kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Kitab Ushul as-Sittah dan lain-lain, terdapat beberapa Ulama yang telah mensyarahnya.
Orang-orang yang cerdas akan memahami dan mengakui kehebatan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah, justeru karena singkat dan padatnya karya tersebut, namun sarat dengan ilmu. Kehebatan beliau antara lain terletak pada sikap tanggap beliau bahwa pada saat itu yang tepat adalah menyusun karya-karya ringkas dan praktis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Hanya orang-orang dangkal, picik dan miskin pengalaman saja yang mengatakan bahwa ukuran kehebatan keulamaan seseorang ditentukan oleh banyak dan besarnya karya yang dihasilkannya. Sehingga jika karya-karya yang dihasilkan seseorang hanya singkat saja meskipun padat dan sarat ilmu, dianggap tidak berarti.
Karya-karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah, meskipun kebanyakan merupakan karya ringkas, namun jutaan umat Islam yang membutuhkannya. Mereka berulang-ulang membacanya, mempelajari kandungan pesan-pesannya dan mengamalkan kebenaran yang ada di dalamnya. Bahkan karya-karya beliau rahimahullah selalu dibaca dan dicetak ulang sejak beliau masih hidup sampai beberapa ratus tahun kemudian hingga sekarang. Karya ilmiah yang bermanfaat, semoga pahalanya selalu mengalir kepada pemiliknya, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : إلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ. رواه مسلم
Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputus darinya (pahala) amalnya kecuali tiga hal: kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yangmendoakannya. [HR Muslim][23].
Karya-karya beliau tidak sama dengan karya-karya para pembencinya yang sarat dengan kedengkian, dendam, hasutan dan caci maki. Namun karya beliau sarat dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Kalaupun terdapat kekeliruan, itu adalah karena beliau manusia biasa yang tidak ma’shum dari kesalahan, dan itupun tidak dominan.
BENARKAH BELIAU HAUS DARAH?
Gambaran yang dikesankan secara licik, tidak gentle dan jauh dari jujur oleh para pembencinya adalah bahwa beliau rahimahullah merupakan orang kasar yang buas terhadap siapa saja yang tidak sejalan dengannya. Benarkah demikian? Bukankah justeru para pembencinya, orang-orang yang sejatinya tidak benar-benar siap menerima kebenaran, itulah orang-orang yang selalu merasa bahwa dirinya harus diikuti kemauannya? Jika kalah hujjah, bukankah fisik mereka yang akan berbicara, terutama jika memiliki kekuatan massa, meskipun dengan jalan yang melanggar syari’at?
Untuk mendukung semangat antipatinya, mereka membesar-besarkan penyematan sebutan Wahabi kepada orang-orang yang dianggap pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah.[24] Itupun dengan generalisasi sebutan kepada setiap orang yang dianggap lawan. Meskipun sebenarnya banyak di antara yang disebut wahabi itu justeru berlawanan pandangannya dengan prinsip Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Penyebutan wahabi itu sendiri sesungguhnya tidak jelas asal-usulnya, kecuali dari musuh-musuh beliau.
Khairuddin az-Zirkli, seorang penulis abad 20, yang menyusun berjilid-jilid buku biografi tokoh dunia berjudul al-A’lam, Qamus Tarajum li Asyhari ar-Rijal wa an-Nisa min al-‘Arab, wa al-Musta’ribin wa al-Mustasyriqin, memuat tokoh mana saja yang dianggap berpengaruh, baik dari berbagai aliran umat Islam, maupun tokoh-tokoh orientalis. Ia telah secara jujur dan jelas memuat nama harum Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah.
Di antaranya az-Zirikli mengatakan,”orang-orang yang setia dan mendukung da’wah beliau (Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah) di jantung Jazirah Arab dikenal sebagai ahli tauhid, yaitu Ikhwan Man Atha’a Allah (para saudara yang taat kepada Allah). Sementara lawan-lawan mereka menamainya sebagai wahabiyun. Nisbat kepada Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab. Akhirnya sebutan Wahabi ini menjadi sangat popular di kalangan orang-orang Eropa dan mereka memasukkannya ke dalam buku-buku biografi karya mereka. Tetapi sebagian penulisnya telah salah ketika menganggap bahwa ini adalah madzhab baru dalam Islam, sebabnya adalah karena mengekor saja pada cerita bohong yang diada-adakan oleh lawan-lawan beliau. Yaitu, terutama, para propagandis dari orang-orang yang menyebut diri sebagai khalifah-khalifah Utsmaniyah di Turki.[25]
Jadi menurut az-Zirikli, sebenarnya sebutan Wahabi berasal dari lawan-lawan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Yaitu, lawan-lawan yang kebenciannya terhadap beliau mencapai puncak ubun-ubun, karena da’wah yang beliau sampaikan tidak pernah kunjung padam, da’wah yang merupakan kepanjang tangan dari da’wah para Ulama sebelumnya. Da’wah yang menghidupkan serta menyegarkan kembali ajaran dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sementara itu para penguasa Turki yang menyebut diri sebagai dinasti Khilafah Utsmaniyah menjadi gerah dengan munculnya sebuah negara yang semakin kuat di Jazirah Arab akibat keberhasilan da’wah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah yang di dukung oleh Imam Muhammad bin Su’ud.
Jauh sebelum kemunculan negeri tauhid yang aman dengan pusat pemerintahan di Dir’iyyah, umumnya wilayah Najed sesungguhnya berada di luar kemampuan kontrol Khilafah Utsmaniyah. Wilayah yang sebelum kehadiran da’wah tauhid selalu diwarnai oleh kebatilan, kekufuran, kemusyrikan dan pertumpahan darah akibat perseteruan antar kabilah atau akibat perebutan kekuasaan yang tidak pernah berhenti; begitu da’wah tauhid masuk dan negara tegak, maka menjadi amanlah keadaan. Dan yang perlu difahami, negeri yang muncul dengan da’wahnya ini tidak pernah menyatakan keluar untuk melakukan penentangan terhadap pusat Khilafah Utsmaniyah di Turki. Hanya karena kekhawatiran berlebih dari para penguasa Khilafah Utsmaniyah-lah, maka pada penghujung berakhirnya Negara Saudi Arabia pertama, melalui para Basya yang berkuasa di Mesir, mereka melakukan penyerangan hingga tumbanglah negeri tersebut. Maka kembalilah kondisi menjadi kacau, pertumpahan darah kembali mewarnai kehidupan umat akibat perkelahian antar kabilah atau perebutan kekuasaan antar penguasa-penguasa kecil. Masyarakat tidak lagi merasa tenteram. Penguasa wilayah selalu dibayangi maut. Sementara Mesir tidak pernah mampu mengurus dan mengontrolnya.[26]
Tentang sejarah awal berkembangnya cikal bakal Negeri Saudi Arabia itu sendiri beserta peristiwa-peristiwa yang menyertainya, telah diceritakan antara lain oleh Hushain bin Ghunnam, salah seorang murid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab, dalam Tarikh Najed (Raudhatu al-Afkar wa al-Afham li Murtad Hali al-Imam wa Ti’dad Ghazawat Dzawi al-Islam).[27] Sejarah yang dapat dipercaya, karena ditulis oleh seorang muslim yang ‘alim dan adil.
Inti sarinya adalah bahwa semenjak da’wah tauhid di Najed, yang kala itu berpusat di Dir’iyyah, menjadi kuat dengan dukungan pemerintahan, maka pemerintahan dengan kekuatan da’wahnya selalu dibanjiri warga-warga baru yang berbondong-bondong ingin bergabung ke dalamnya. Sebagian besar warga baru yang datang adalah karena haus akan kebenaran da’wah yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Sementara beliau juga rajin mengajak para Ulama dan para pemimpin negeri-negeri tetangga untuk bergabung dengan negara baru yang berdiri atas dasar da’wah tauhid ini. Maka bergabunglah para pemimpin sebagian negeri tersebut, termasuk pemimpin negeri ‘Uyainah, Huraimila dan Manfuhah.
Perkembangan da’wah ini tentu menimbulkan kekhawatiran para pemimpin negeri sekitar yang anti terhadap kebenaran. Padahal Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah sebagai tokoh Ulama dan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah sebagai negarawan, tidak henti-hentinya berusaha memberikan nasihat serta mengajak para pemimpin tersebut dengan cara hikmah untuk kembali kepada ajaran Islam menurut syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begabung menciptakan kedamaian bernegara. Salah satu contohnya adalah kepada seorang penguasa Riyadh yang bernama Daham bin Dawwas. Tetapi orang ini terkenal licik dan semena-mena terhadap rakyatnya. Ia memperoleh kekuasaan di Riyadh pun dengan cara licik, curang dan keji terhadap ahli waris yang sebenarnya.
Ayahnya, Dawwas, yang pernah berkuasa di wilayah Manfuhah, juga terkenal memiliki watak kejam. Awalnya Daham bin Dawwas tidak pernah menunjukkan permusuhannya secara langsung terhadap da’wah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah serta kekuasaan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah. Bahkan ketika Daham menghadapi upaya pemberontakan rakyatnya, ia meminta bantuan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah yang dengan senang hati memenuhinya.
Namun Daham memang sangat membenci da’wah tauhid dan memusuhi pemerintahan yang berpusat di Dir’iyyah. Setiap ia mengetahui ada warganya yang taat beragama Islam, selalu ditindas dengan kekejiannya. Sehingga pada akhirnya, ketika ia mendengar bahwa wilayah Manfuhah sudah bergabung dengan Dir’iyyah, maka secara licik dan khianat ia melakukan penyerbuan ke Manfuhah, apalagi ia memiliki dendam lama terhadap warga Manfuhah karena keluarganya terbunuh dan terusir dari sana akibat ulah sendiri. Sementara pemimpin dan warga Manfuhah tidak menaruh curiga sama sekali karena Daham selalu menampakkan persahabatannya terhadap Imam Muhammad bin Su’ud. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki makarnya sukses. Sebagian warga Manfuhah ternyata sempat mengetahui tindakannya. Akhirnya Dir’iyyahpun sempat mengirimkan bantuan untuk memberikan perlawanan kepada pasukan penyerbu. Hasilnya Daham bin Dawwas mengalami kekalahan telak dan terpaksa melarikan diri dari Manfuhah menuju Riyadh dengan membawa luka-luka dan jari-jari kakinya putus.[28] Tentu musuh-musuh tauhid bukan hanya Daham bin Dawwas, tetapi demikian secara ringkas, contoh dari kisah awal bagi mulainya pertempuran-pertempuran yang ada, yang awalnya karena kecurangan, kelicikan dan kedengkian musuh.
Maka tidak benar jika Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah dikatakan haus darah, bahkan jika seseorang dengan jujur membaca risalah-risalah yang beliau kirimkan waktu itu kepada para tokoh, pemimpin dan Ulama di negeri-negeri sekitar, ia akan dapat menarik kesimpulan bahwa risalah-risalah itu berisi kebenaran, jauh dari provokasi dan hasutan untuk tujuan petumpahan darah. Risalah-risalah itu diutarakan dengan bahasa lugas, jelas, terbuka, namun sopan dan penuh hikmah serta kuat hujjahnya hingga sulit terbantahkan. Di dalamnya hanya berisi ajakan berfikir, ajakan amar ma’ruf nahi munkar, ajakan untuk tidak membiarkan umat dalam kejahatan dan kegelapan. Ajakan yang intinya supaya hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja serta meninggalkan kemusyrikan dan kema’siatan. Dan itu langsung ditujukan kepada orang yang menjadi tujuannya. Bukan hasutan, atau caci makian atau kekejian. Kemudian sebagian lain dari risalah itu berisi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang masuk, dan sebagian lainnya lagi merupakan penjelasan terhadap apa yang dituduhkan secara tidak benar kepada beliau. Hushain bin Ghunnam dalam Tarikh Najed[29] telah memuat banyak di antara risalah-risalah beliau itu.
Ini menunjukkan kekuatan ilmu, hujjah, hikmah serta kesabaran dan kepribadian hebat penulisnya, yaitu Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Tidak ada seorang pun di antara para pembencinya di zaman dahulu yang dengan gentle melawan hujjahnya, kecuali dengan kelicikan, kecurangan, pengkhianatan, isu-isu dusta dan terakhir dengan tindakan fisik.
Jadi tidak ada bukti sama sekali tentang sejarah berdarah itu, yang ada justeru terciptanya kedamaian, karena sejak semula da’wah beliau sudah diawali dengan kedamaian, meskipun tegas, lugas dan kuat hujjahnya, namun tidak kasar. Jika da’wah tersebut diawali dengan ujung pedang, atau diwarnai intrik politik yang busuk, atau dilakukan dengan sikap kasar, penuh tekanan dan permusuhan, apa mungkin –sesudah taufiq Allahl- dakwah itu bisa sukses dan mampu menggugah kesadaran umat hingga sekarang, sedangkan beliau pun tetap dikagumi dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, terutama yang gentle? Walillahi al-Hamdu wa al-Minnah.
Maraji’:
1. Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah, Dr. ‘Abdullah ash-Shalih al-‘Utsaimin, Juz I, cet.XVI, 1432 H/2011M.
2. Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar Li Murtad Hali al-Imam wa Ti’dad Ghazawat Dzawi al-Islam), karya Imam Husain bin Ghunnam, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladi, Mesir,cet I, th.1368 H/1949 M.
3. ‘Unwan al-Majd Fi Tarikh Najed, Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, karya al-‘Allamah al-Muhaqiq ‘Utsman bin Bisyr an-Najdi, tanpa tahun.
4. Shahih Muslim Bi Syarhi an-Nawawi, tahqiq:Khalil Ma’mun Syiha, Dar al-Ma’rifah, Beirut,cet.III,1417 H/1996 M.
5. Al-A’lam, Qamus Tarajum li Asyhari ar-Rijal wa an-Nisa min al-‘Arab, wa al-Musta’ribin wa al-Mustasyriqin, karya az-Zirikli (ejaan b. Inggris Al-Zerekly), Dar al-‘ilmi Lil Malayin. Zuhair Fathullah, musyrif pencetakan yang ke IV, dalam mukadimahnya membubuhkan angka tahun 1979 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Perhatikan Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah, Dr. ‘Abdullah ash-Shalih al-‘Utsaimin, Juz I, cet.XVI, 1432 H/2011 M, hlm.65.
[2]. Ibid. Lihat pula Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar), karya Imam Husain bin Ghunnam, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladi, Mesir, cet. I, th. 1368 H/1949 M, I/25, al-Fashlu ats-Tsani.
[3]. Perhatikan Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit. I/65-66.
[4]. Ibid. I/66, dll.
[5]. Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar), karya Imam Husain bin Ghunnam, op.cit.I/25.
[6]. Ibid
[7]. Ibid
[8]. Ibid I/26
[9]. Ibid
[10]. Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit I/69
[11]. Ibid
[12]. Ibid I/71
[13]. Unwan al-Majd Fi Tarikh Najed, Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, karya al-Allamah al-Muhaqqiq Utsman bin Bisyr an-Najdi, tanpa tahun, I/7, sub judul : Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah
[14]. Ibid. Lihat al-A’lam, karya az-Zirikli (ejaan b.Inggris al-Zerekly) Dar al-Ilmi Lil Malayin. Zuhair Fathullah, musyrif percetakan yang ke IV, dalam mukadimahnya membubuhkan angka tahun 1979M, I/50, pada m ateri Asy-Syammary ; Ibrahim bin Abdullah bin Ibrahim bin Saif
[15]. Lihat al-A’lam, karya Az-Zirikl, op.cit VI/111. Lihat pula Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit.I/7I
[16]. Perhatikanlah Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit I/71
[17]. Ibid I/69. Lihat pula Unwan al-Majd fi Tarikh Najed, I/6
[18]. Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar) I/26
[19]. Ibid I/27
[20]. Unwan al-Majd Fi Tarikh Najed, op.cit I/8
[21]. Ibid
[22]. Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar) I/26-27
[23]. Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, tahqiq:Khalil Ma’mun Syiha, Dar al-Ma’rifah, Beirut,cet.III,1417 H/1996 M, XI/87, no.4199.
[24]. Akhir-akhir ini secara gencar mereka memaksakan diri menyebarkan opini buruk baru dengan head line ‘Salafi Wahabi’
[25]. Lihat al-A’lam, karya az-Zirikli (ejaan b.Inggris Al-Zerekly), op.cit.VI/257.
[26]. Lihat Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah,op.cit. tentang sejarah berdirinya nagara Saudi Arabia, baik di jilid I maupun II. Lihat pula ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najed.
[27]. Lihat Tarikh Najed dimaksud juz II halm.3-20,op.cit.
[28]. Ibid II/6-7
[29]. Lihat kitab tersebut pada juz I, op.cit. mulai hal.50-60, juga halm.95-175.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab berasal dari keluarga (Ali) Musyarraf. Sedangkan keluarga Musyarraf merupakan cabang dari keluarga (Ali) Wuhabah. Dan keluarga Wuhabah adalah salah satu dari keluarga besar kabilah Bani Tamim yang terkenal.[1]
Musyarraf, menurut riwayat yang rajih, adalah kakek Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab yang kesembilan. Jadi nama lengkap beliau adalah: Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf.[2]
Beliau berasal dari keluarga yang dikenal sebagai keluarga para Ulama. Dan pada abad ke XI Hijriyah, Ulama paling terkenal yang ada di Najed adalah kakek langsung beliau, yaitu Sulaiman bin ‘Ali yang menjabat sebagai Qadhi (hakim agama) di Raudhah Sudair. Setelah berhenti, beliau pindah ke ‘Uyainah dan menjabat sebagai Qadhi pula serta menjadi Syaikh (guru ilmu-ilmu syar’i) bagi sejumlah penuntut ilmu. Di antara penuntut ilmu syar’i itu adalah dua orang puteranya yang bernama ‘Abdul-Wahhab (ayah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab) dan Ibrahim (paman beliau). Kelak ‘Abdul-Wahhab pun menjadi seorang ‘alim yang kemudian menduduki jabatan Qadhi di ‘Uyainah, sungguhpun tidak sebesar tingkat keilmuan ayahnya (Sulaiman).[3]
Singkat kata, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah dilahirkan di tengah keluarga Ulama yang bila ditinjau dari sisi kedudukan, berasal dari keluarga terpandang, dan bila ditinjau dari sisi ekonomi juga bukan dari keluarga miskin, karena orang tua maupun kakeknya adalah Qadhi. Beliau dilahirkan di ‘Uyainah pada tahun 1115 H, atau kurang lebih tahun 1703 M.[4]
Demikian sekilas tentang nama, kelahiran serta keluarga tokoh Ulama mujaddid abad XII H, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah.
BENARKAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ‘ABDUL-WAHHAB TIDAK MEMILIKI GURU?
Ada dua kemungkinan ketika orang berbicara miring tentang seseorang.
Kemungkinan Pertama : Ia benar-benar tidak mengerti dan mengenal seseorang tersebut. Jika inilah kemungkinannya, mestinya ia tidak boleh berbicara tentangnya. Sebab berarti ia hanya berbicara secara serampangan, tidak berdasarkan ilmu. Orang-orang yang mengerti akan menertawakannya.
Kemungkinan Kedua : Ia mengerti tetapi sangat membenci dan mendendamnya, sehingga yang dikatakannya tentang orang itu keluar dari hati yang penuh kedengkian. Jika demikian halnya, maka bisa dipastikan bahwa sebagian besar kata-katanya akan diwarnai kedustaan dalam rangka menjatuhkan orang yang sangat dibencinya itu.
Tampaknya demikianlah kata-kata miring tentang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah, hanya berasal dari salah satu dari dua kemungkinan di atas atau dua-duanya. Untuk itu perlu pemaparan serba sedikit tentang perjalanan beliau rahimahullah menuntut ilmu.
Masa kecil Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahulla lebih banyak dipergunakan untuk mempelajari al-Qur’an, tidak banyak dipergunakan untuk bermain-main bersama teman sebayanya, sehingga beliau telah hafal al-Qur’an sebelum umurnya mencapai 10 tahun. Beliau memiliki ketajaman pemahaman yang luar biasa, cerdas, cepat menghafal dan fasih pengucapan kata-katanya.[5]
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, beliau rahimahullah lahir dari keluarga Ulama. Kakeknya seorang alim besar di zamannya dan juga seorang Qadhi, demikian pula ayahnya. Maka jelas, beliau hidup dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Ulama. Sehingga wajar semenjak kecilnya beliau rahimahullah sudah memiliki motivasi menuntut ilmu syar’i yang tinggi.
Sebelum beliau rahimahullah melakukan perjalanan jauh ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu, hal yang pertama kali beliau lakukan adalah menyibukkan diri dengan sungguh-sungguh menggali ilmu agama dari ayahnya sendiri. Maka dasar-dasar ilmu yang kuat sudah beliau miliki semenjak umur beliau berkisar antara sepuluh tahun di ‘Uyainah, salah satu daerah di Najed. Ayahnya sampai terrheran-heran melihat semangat serta kecerdasan beliau [6]. Bahkan ayahnya sempat berkata,”Aku benar-benar dapat mengambil banyak faidah hukum dari Muhammad, anakku.” Atau kata-kata senada.[7]
Beliau rahimahullah mencapai usia baligh sebelum usianya genap 12 (dua belas) tahun. Pada usia itu, sesudah usianya baligh, beliau sudah disuruh menjadi imam shalat oleh ayahnya, dan ayahnya pun menikahkannya.[8] Di sini jelas bahwa ayahnya merupakan salah satu gurunya.
Setelah itu, pada usia yang sama, beliau rahimahullah pergi haji memenuhi rukun Islam yang kelima dan selanjutnya beliau rahimahullah mengunjungi kota Madinah dan menetap di sana selama dua bulan, baru sesudah itu beliau kembali ke kampung halamannya.[9] Itu adalah perjalanan ibadah haji pertama beliau.[10] Dan tampaknya, selama dua bulan beliau tinggal di Madinah beliau sempat menghadiri beberapa pelajaran dari beberapa Ulama di Masjid Nabawi. Tetapi yang paling berpengaruh bagi beliau adalah ketika beliau bertemu dengan dua orang ulama besar yang kelak menjadi guru-gurunya pula pada pengembaraan ilmiah berikutnya, yaitu Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.[11]
Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif adalah seorang Ulama yang ahli dalam bidang fiqih Hanbali dan dalam bidang hadits. Juga pengagum Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.[12] Berasal dari keluarga Al-Saif yang selalu menjadi kepala pemerintahan di daerah Majma’ah, suatu daerah yang ada di wilayah Sudair di Najed.[13] Beliau juga adalah ayah dari Syaikh Ibrahim bin ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif, penyusun Kitab al-‘Adzbu al-Faidh, Syarh Alfiyati al-Fara-idh.[14]
Sedangkan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi adalah seorang Ulama bidang hadits, berasal dari Sindustan yang kemudian menetap dan wafat di Madinah.[15] Di samping sebagai seorang tokoh Ulama bidang hadits dan ‘Ulum al-Hadits, beliau juga seorang tokoh penyeru ijtihad dalam masalah syari’at, dan penentang ta’ash-shub madzhabi (fantisme madzhab). Beliaupun dikenal sebagai orang yang paling keras memerangi bid’ah dan perbuatan-perbuatan yang bisa menjadi tangga menuju syirik.[16]
Sepulang dari perjalanan itu beliau lebih bersemangat lagi menuntut ilmu. Di samping memperdalam ilmu fiqih madzhab Ahmad bin Hanbal kepada ayahnya, beliau juga rajin mempelajari kitab tafsir, hadits dan tauhid serta menelaah pendapat para Ulama.[17]
Selanjutnya beliau mengembara untuk menuntut ilmu syar’i ke berbagai negeri yang berdekatan dan berguru kepada para Ulama besar di negeri-negeri tersebut. Beliau pergi ke Hijaz dan Bashrah beberapa kali, juga ke Ahsa’.[18] Pada pengembaraan yang memakan waktu lebih panjang inilah beliau secara lebih mendalam mempelajari ilmu-ilmu syar’i kepada para Ulama gurunya. Sebagian di antaranya adalah para Ulama terkenal yang sudah disebut namanya di atas.
Sementara di Bashrah, beliau berguru pula kepada banyak Ulama tentang hadits dan fiqih. Juga tentang ilmu nahwu hingga betul-betul menguasainya.[19] Salah satu di antara Ulama itu berasal dari daerah Majmu’ah di Bashrah, yaitu Syaikh Muhammad al-Majmu’i, seorang Ulama yang beserta anak-anaknya termasuk keluarga yang terkenal sebagai orang-orang shalih dan berpegang pada ajaran tauhid.[20]20 Sedangkan di Asha’, beliau juga bertemu dengan para Ulama, di antaranya Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Lathif asy-Syafi’i al-Ashsa-i.[21]
Jadi tidak benar kalau beliau dinyatakan tidak mempunyai guru. Bahkan guru-guru beliau cukup banyak, dan merupakan para Ulama yang dikenal di zaman itu, baik di ‘Uyainah, Madinah, Bashrah, Ahsa’ maupun di tempat lain. Yang sangat menonjol di antara guru-guru beliau, adalah yang sudah disebutkan di atas. Bahkan beliau juga mendapat ijazah dan sanad, di antaranya dalam riwayat hadits, dari Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi al-Madani.[22]
BENARKAH BELIAU TIDAK MEMILIKI KARYA MONUMENTAL?
Karena kondisi masyarakat yang menuntut beliau sibuk terjun langsung menangani dakwah, maka beliau memang tidak menyusun kitab karya besar yang berjilid-jilid. Tetapi bukan berarti bahwa karya beliau tidak memiliki karya-karya monumental. Meskipun banyak di antara karyanya yang ringkas dan padat, tetapi ternyata banyak Ulama yang kemudian mensyarah karya-karya ringkas beliau. Banyak karya ringkasnya memiliki lebih dari satu syarah dari para Ulama. Mengapa? Tentu karena pentingnya karya yang beliau susun. Singkat namun sarat berisi pelajaran yang perlu digali, dikaji dan disampaikan kepada khalayak.
Sebagai contoh, kitab karya beliau yang berjudul Kitab at-Tauhid al-Ladzi Huwa haqqullah ‘ala al-‘Abid, lebih dari lima orang Ulama yang telah mensyarahnya, dan kitab asli maupun kitab syarahnya selalu dikaji semenjak dahulu hingga sekarang. Demikian pula kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Kitab Ushul as-Sittah dan lain-lain, terdapat beberapa Ulama yang telah mensyarahnya.
Orang-orang yang cerdas akan memahami dan mengakui kehebatan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah, justeru karena singkat dan padatnya karya tersebut, namun sarat dengan ilmu. Kehebatan beliau antara lain terletak pada sikap tanggap beliau bahwa pada saat itu yang tepat adalah menyusun karya-karya ringkas dan praktis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Hanya orang-orang dangkal, picik dan miskin pengalaman saja yang mengatakan bahwa ukuran kehebatan keulamaan seseorang ditentukan oleh banyak dan besarnya karya yang dihasilkannya. Sehingga jika karya-karya yang dihasilkan seseorang hanya singkat saja meskipun padat dan sarat ilmu, dianggap tidak berarti.
Karya-karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah, meskipun kebanyakan merupakan karya ringkas, namun jutaan umat Islam yang membutuhkannya. Mereka berulang-ulang membacanya, mempelajari kandungan pesan-pesannya dan mengamalkan kebenaran yang ada di dalamnya. Bahkan karya-karya beliau rahimahullah selalu dibaca dan dicetak ulang sejak beliau masih hidup sampai beberapa ratus tahun kemudian hingga sekarang. Karya ilmiah yang bermanfaat, semoga pahalanya selalu mengalir kepada pemiliknya, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : إلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ. رواه مسلم
Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputus darinya (pahala) amalnya kecuali tiga hal: kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yangmendoakannya. [HR Muslim][23].
Karya-karya beliau tidak sama dengan karya-karya para pembencinya yang sarat dengan kedengkian, dendam, hasutan dan caci maki. Namun karya beliau sarat dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Kalaupun terdapat kekeliruan, itu adalah karena beliau manusia biasa yang tidak ma’shum dari kesalahan, dan itupun tidak dominan.
BENARKAH BELIAU HAUS DARAH?
Gambaran yang dikesankan secara licik, tidak gentle dan jauh dari jujur oleh para pembencinya adalah bahwa beliau rahimahullah merupakan orang kasar yang buas terhadap siapa saja yang tidak sejalan dengannya. Benarkah demikian? Bukankah justeru para pembencinya, orang-orang yang sejatinya tidak benar-benar siap menerima kebenaran, itulah orang-orang yang selalu merasa bahwa dirinya harus diikuti kemauannya? Jika kalah hujjah, bukankah fisik mereka yang akan berbicara, terutama jika memiliki kekuatan massa, meskipun dengan jalan yang melanggar syari’at?
Untuk mendukung semangat antipatinya, mereka membesar-besarkan penyematan sebutan Wahabi kepada orang-orang yang dianggap pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah.[24] Itupun dengan generalisasi sebutan kepada setiap orang yang dianggap lawan. Meskipun sebenarnya banyak di antara yang disebut wahabi itu justeru berlawanan pandangannya dengan prinsip Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Penyebutan wahabi itu sendiri sesungguhnya tidak jelas asal-usulnya, kecuali dari musuh-musuh beliau.
Khairuddin az-Zirkli, seorang penulis abad 20, yang menyusun berjilid-jilid buku biografi tokoh dunia berjudul al-A’lam, Qamus Tarajum li Asyhari ar-Rijal wa an-Nisa min al-‘Arab, wa al-Musta’ribin wa al-Mustasyriqin, memuat tokoh mana saja yang dianggap berpengaruh, baik dari berbagai aliran umat Islam, maupun tokoh-tokoh orientalis. Ia telah secara jujur dan jelas memuat nama harum Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah.
Di antaranya az-Zirikli mengatakan,”orang-orang yang setia dan mendukung da’wah beliau (Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah) di jantung Jazirah Arab dikenal sebagai ahli tauhid, yaitu Ikhwan Man Atha’a Allah (para saudara yang taat kepada Allah). Sementara lawan-lawan mereka menamainya sebagai wahabiyun. Nisbat kepada Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab. Akhirnya sebutan Wahabi ini menjadi sangat popular di kalangan orang-orang Eropa dan mereka memasukkannya ke dalam buku-buku biografi karya mereka. Tetapi sebagian penulisnya telah salah ketika menganggap bahwa ini adalah madzhab baru dalam Islam, sebabnya adalah karena mengekor saja pada cerita bohong yang diada-adakan oleh lawan-lawan beliau. Yaitu, terutama, para propagandis dari orang-orang yang menyebut diri sebagai khalifah-khalifah Utsmaniyah di Turki.[25]
Jadi menurut az-Zirikli, sebenarnya sebutan Wahabi berasal dari lawan-lawan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Yaitu, lawan-lawan yang kebenciannya terhadap beliau mencapai puncak ubun-ubun, karena da’wah yang beliau sampaikan tidak pernah kunjung padam, da’wah yang merupakan kepanjang tangan dari da’wah para Ulama sebelumnya. Da’wah yang menghidupkan serta menyegarkan kembali ajaran dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sementara itu para penguasa Turki yang menyebut diri sebagai dinasti Khilafah Utsmaniyah menjadi gerah dengan munculnya sebuah negara yang semakin kuat di Jazirah Arab akibat keberhasilan da’wah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah yang di dukung oleh Imam Muhammad bin Su’ud.
Jauh sebelum kemunculan negeri tauhid yang aman dengan pusat pemerintahan di Dir’iyyah, umumnya wilayah Najed sesungguhnya berada di luar kemampuan kontrol Khilafah Utsmaniyah. Wilayah yang sebelum kehadiran da’wah tauhid selalu diwarnai oleh kebatilan, kekufuran, kemusyrikan dan pertumpahan darah akibat perseteruan antar kabilah atau akibat perebutan kekuasaan yang tidak pernah berhenti; begitu da’wah tauhid masuk dan negara tegak, maka menjadi amanlah keadaan. Dan yang perlu difahami, negeri yang muncul dengan da’wahnya ini tidak pernah menyatakan keluar untuk melakukan penentangan terhadap pusat Khilafah Utsmaniyah di Turki. Hanya karena kekhawatiran berlebih dari para penguasa Khilafah Utsmaniyah-lah, maka pada penghujung berakhirnya Negara Saudi Arabia pertama, melalui para Basya yang berkuasa di Mesir, mereka melakukan penyerangan hingga tumbanglah negeri tersebut. Maka kembalilah kondisi menjadi kacau, pertumpahan darah kembali mewarnai kehidupan umat akibat perkelahian antar kabilah atau perebutan kekuasaan antar penguasa-penguasa kecil. Masyarakat tidak lagi merasa tenteram. Penguasa wilayah selalu dibayangi maut. Sementara Mesir tidak pernah mampu mengurus dan mengontrolnya.[26]
Tentang sejarah awal berkembangnya cikal bakal Negeri Saudi Arabia itu sendiri beserta peristiwa-peristiwa yang menyertainya, telah diceritakan antara lain oleh Hushain bin Ghunnam, salah seorang murid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab, dalam Tarikh Najed (Raudhatu al-Afkar wa al-Afham li Murtad Hali al-Imam wa Ti’dad Ghazawat Dzawi al-Islam).[27] Sejarah yang dapat dipercaya, karena ditulis oleh seorang muslim yang ‘alim dan adil.
Inti sarinya adalah bahwa semenjak da’wah tauhid di Najed, yang kala itu berpusat di Dir’iyyah, menjadi kuat dengan dukungan pemerintahan, maka pemerintahan dengan kekuatan da’wahnya selalu dibanjiri warga-warga baru yang berbondong-bondong ingin bergabung ke dalamnya. Sebagian besar warga baru yang datang adalah karena haus akan kebenaran da’wah yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Sementara beliau juga rajin mengajak para Ulama dan para pemimpin negeri-negeri tetangga untuk bergabung dengan negara baru yang berdiri atas dasar da’wah tauhid ini. Maka bergabunglah para pemimpin sebagian negeri tersebut, termasuk pemimpin negeri ‘Uyainah, Huraimila dan Manfuhah.
Perkembangan da’wah ini tentu menimbulkan kekhawatiran para pemimpin negeri sekitar yang anti terhadap kebenaran. Padahal Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah sebagai tokoh Ulama dan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah sebagai negarawan, tidak henti-hentinya berusaha memberikan nasihat serta mengajak para pemimpin tersebut dengan cara hikmah untuk kembali kepada ajaran Islam menurut syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begabung menciptakan kedamaian bernegara. Salah satu contohnya adalah kepada seorang penguasa Riyadh yang bernama Daham bin Dawwas. Tetapi orang ini terkenal licik dan semena-mena terhadap rakyatnya. Ia memperoleh kekuasaan di Riyadh pun dengan cara licik, curang dan keji terhadap ahli waris yang sebenarnya.
Ayahnya, Dawwas, yang pernah berkuasa di wilayah Manfuhah, juga terkenal memiliki watak kejam. Awalnya Daham bin Dawwas tidak pernah menunjukkan permusuhannya secara langsung terhadap da’wah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah serta kekuasaan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah. Bahkan ketika Daham menghadapi upaya pemberontakan rakyatnya, ia meminta bantuan Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah yang dengan senang hati memenuhinya.
Namun Daham memang sangat membenci da’wah tauhid dan memusuhi pemerintahan yang berpusat di Dir’iyyah. Setiap ia mengetahui ada warganya yang taat beragama Islam, selalu ditindas dengan kekejiannya. Sehingga pada akhirnya, ketika ia mendengar bahwa wilayah Manfuhah sudah bergabung dengan Dir’iyyah, maka secara licik dan khianat ia melakukan penyerbuan ke Manfuhah, apalagi ia memiliki dendam lama terhadap warga Manfuhah karena keluarganya terbunuh dan terusir dari sana akibat ulah sendiri. Sementara pemimpin dan warga Manfuhah tidak menaruh curiga sama sekali karena Daham selalu menampakkan persahabatannya terhadap Imam Muhammad bin Su’ud. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki makarnya sukses. Sebagian warga Manfuhah ternyata sempat mengetahui tindakannya. Akhirnya Dir’iyyahpun sempat mengirimkan bantuan untuk memberikan perlawanan kepada pasukan penyerbu. Hasilnya Daham bin Dawwas mengalami kekalahan telak dan terpaksa melarikan diri dari Manfuhah menuju Riyadh dengan membawa luka-luka dan jari-jari kakinya putus.[28] Tentu musuh-musuh tauhid bukan hanya Daham bin Dawwas, tetapi demikian secara ringkas, contoh dari kisah awal bagi mulainya pertempuran-pertempuran yang ada, yang awalnya karena kecurangan, kelicikan dan kedengkian musuh.
Maka tidak benar jika Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah dikatakan haus darah, bahkan jika seseorang dengan jujur membaca risalah-risalah yang beliau kirimkan waktu itu kepada para tokoh, pemimpin dan Ulama di negeri-negeri sekitar, ia akan dapat menarik kesimpulan bahwa risalah-risalah itu berisi kebenaran, jauh dari provokasi dan hasutan untuk tujuan petumpahan darah. Risalah-risalah itu diutarakan dengan bahasa lugas, jelas, terbuka, namun sopan dan penuh hikmah serta kuat hujjahnya hingga sulit terbantahkan. Di dalamnya hanya berisi ajakan berfikir, ajakan amar ma’ruf nahi munkar, ajakan untuk tidak membiarkan umat dalam kejahatan dan kegelapan. Ajakan yang intinya supaya hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja serta meninggalkan kemusyrikan dan kema’siatan. Dan itu langsung ditujukan kepada orang yang menjadi tujuannya. Bukan hasutan, atau caci makian atau kekejian. Kemudian sebagian lain dari risalah itu berisi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang masuk, dan sebagian lainnya lagi merupakan penjelasan terhadap apa yang dituduhkan secara tidak benar kepada beliau. Hushain bin Ghunnam dalam Tarikh Najed[29] telah memuat banyak di antara risalah-risalah beliau itu.
Ini menunjukkan kekuatan ilmu, hujjah, hikmah serta kesabaran dan kepribadian hebat penulisnya, yaitu Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab rahimahullah. Tidak ada seorang pun di antara para pembencinya di zaman dahulu yang dengan gentle melawan hujjahnya, kecuali dengan kelicikan, kecurangan, pengkhianatan, isu-isu dusta dan terakhir dengan tindakan fisik.
Jadi tidak ada bukti sama sekali tentang sejarah berdarah itu, yang ada justeru terciptanya kedamaian, karena sejak semula da’wah beliau sudah diawali dengan kedamaian, meskipun tegas, lugas dan kuat hujjahnya, namun tidak kasar. Jika da’wah tersebut diawali dengan ujung pedang, atau diwarnai intrik politik yang busuk, atau dilakukan dengan sikap kasar, penuh tekanan dan permusuhan, apa mungkin –sesudah taufiq Allahl- dakwah itu bisa sukses dan mampu menggugah kesadaran umat hingga sekarang, sedangkan beliau pun tetap dikagumi dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, terutama yang gentle? Walillahi al-Hamdu wa al-Minnah.
Maraji’:
1. Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah, Dr. ‘Abdullah ash-Shalih al-‘Utsaimin, Juz I, cet.XVI, 1432 H/2011M.
2. Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar Li Murtad Hali al-Imam wa Ti’dad Ghazawat Dzawi al-Islam), karya Imam Husain bin Ghunnam, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladi, Mesir,cet I, th.1368 H/1949 M.
3. ‘Unwan al-Majd Fi Tarikh Najed, Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, karya al-‘Allamah al-Muhaqiq ‘Utsman bin Bisyr an-Najdi, tanpa tahun.
4. Shahih Muslim Bi Syarhi an-Nawawi, tahqiq:Khalil Ma’mun Syiha, Dar al-Ma’rifah, Beirut,cet.III,1417 H/1996 M.
5. Al-A’lam, Qamus Tarajum li Asyhari ar-Rijal wa an-Nisa min al-‘Arab, wa al-Musta’ribin wa al-Mustasyriqin, karya az-Zirikli (ejaan b. Inggris Al-Zerekly), Dar al-‘ilmi Lil Malayin. Zuhair Fathullah, musyrif pencetakan yang ke IV, dalam mukadimahnya membubuhkan angka tahun 1979 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Perhatikan Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah, Dr. ‘Abdullah ash-Shalih al-‘Utsaimin, Juz I, cet.XVI, 1432 H/2011 M, hlm.65.
[2]. Ibid. Lihat pula Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar), karya Imam Husain bin Ghunnam, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladi, Mesir, cet. I, th. 1368 H/1949 M, I/25, al-Fashlu ats-Tsani.
[3]. Perhatikan Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit. I/65-66.
[4]. Ibid. I/66, dll.
[5]. Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar), karya Imam Husain bin Ghunnam, op.cit.I/25.
[6]. Ibid
[7]. Ibid
[8]. Ibid I/26
[9]. Ibid
[10]. Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit I/69
[11]. Ibid
[12]. Ibid I/71
[13]. Unwan al-Majd Fi Tarikh Najed, Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, karya al-Allamah al-Muhaqqiq Utsman bin Bisyr an-Najdi, tanpa tahun, I/7, sub judul : Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah
[14]. Ibid. Lihat al-A’lam, karya az-Zirikli (ejaan b.Inggris al-Zerekly) Dar al-Ilmi Lil Malayin. Zuhair Fathullah, musyrif percetakan yang ke IV, dalam mukadimahnya membubuhkan angka tahun 1979M, I/50, pada m ateri Asy-Syammary ; Ibrahim bin Abdullah bin Ibrahim bin Saif
[15]. Lihat al-A’lam, karya Az-Zirikl, op.cit VI/111. Lihat pula Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit.I/7I
[16]. Perhatikanlah Tarikh al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, op.cit I/71
[17]. Ibid I/69. Lihat pula Unwan al-Majd fi Tarikh Najed, I/6
[18]. Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar) I/26
[19]. Ibid I/27
[20]. Unwan al-Majd Fi Tarikh Najed, op.cit I/8
[21]. Ibid
[22]. Tarikh Najed (Raudhatu al-Afham wa al-Afkar) I/26-27
[23]. Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, tahqiq:Khalil Ma’mun Syiha, Dar al-Ma’rifah, Beirut,cet.III,1417 H/1996 M, XI/87, no.4199.
[24]. Akhir-akhir ini secara gencar mereka memaksakan diri menyebarkan opini buruk baru dengan head line ‘Salafi Wahabi’
[25]. Lihat al-A’lam, karya az-Zirikli (ejaan b.Inggris Al-Zerekly), op.cit.VI/257.
[26]. Lihat Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah,op.cit. tentang sejarah berdirinya nagara Saudi Arabia, baik di jilid I maupun II. Lihat pula ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najed.
[27]. Lihat Tarikh Najed dimaksud juz II halm.3-20,op.cit.
[28]. Ibid II/6-7
[29]. Lihat kitab tersebut pada juz I, op.cit. mulai hal.50-60, juga halm.95-175.
Sumber : almanhaj.or.id
Label:
Manhaj
22.15
Islam Satu-satunya Agama yang Benar
Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Setiap Muslim yakin sepenuhnya bahwa karunia Allâh Azza wa Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang Muslim wajib bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-Nya yang telah memberikan hidayah Islam. Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa nikmat Islam adalah karunia yang terbesar, sebagaimana firman-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Sebagai bukti syukur seorang Muslim atas nikmat ini adalah dengan menjadikan dirinya sebagai seorang Muslim yang ridha Allâh sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya. Seorang Muslim harus menerima dan meyakini agama Islam dengan sepenuh hati. Artinya ia dengan penuh kesadaran dan keyakinan menerima apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika seseorang ingin menjadi Muslim sejati, pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setia, maka ia harus meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang haq (benar). Ia harus belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan Islam dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dengan mengikuti contoh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kondisi sebagian umat Islam yang kita lihat sekarang ini sangat menyedihkan. Mereka mengaku Islam, KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka Islam, mereka semua mengaku sebagai Muslim, tetapi ironinya mereka tidak mengetahui tentang Islam, tidak berusaha untuk mengamalkan Islam. Bahkan ada sebagian ritual keagamaan yang mereka amalkan hanya ikut-ikutan saja. Penilaian baik dan tidaknya seseorang sebagai Muslim bukan dengan pengakuan dan KTP, tetapi berdasarkan ilmu dan amal. Allâh Azza wa Jalla tidak memberikan penilaian berdasarkan keaslian KTP yang dikeluarkan pemerintah, juga tidak kepada rupa dan bentuk tubuh, tetapi Allâh melihat kepada hati dan amal.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَـى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَـى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allâh tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.[1]
Seorang Muslim wajib belajar tentang Islam yang berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah Nabi n yang shahih sesuai dengan pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum . al-Qur'ân diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla agar dibaca, dipahami isinya dan diamalkan petunjuknya. al-Qur'ân dan as-Sunnah merupakan pedoman hidup abadi dan terpelihara, yang harus dipelajari dan diamalkan. Seorang Muslim tidak akan sesat selama mereka berpegang kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum .
al-Qur'ân adalah petunjuk hidup, penawar, rahmat, penyembuh, dan sumber kebahagiaan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٧﴾ قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-Qur'ân) dari Rabb-mu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ [ Yunus/10:57-58]
ISLAM ADALAH SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam… [Ali ‘Imrân/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali ‘Imrân/3:85]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allâh itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, maka tidak akan ada bagimu Pelindung dan Penolong dari Allâh. [al-Baqarah/2:120]
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam satu-satunya agama yang benar, adapun selain Islam tidak benar dan tidak diterima oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, agama selain Islam, tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , karena agama-agama tersebut telah mengalami penyimpangan yang fatal dan telah dicampuri dengan tangan-tangan kotor manusia. Setelah diutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang Yahudi, Nasrani dan yang lainnya wajib masuk ke dalam Islam, mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemudian ayat-ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam serta mereka tidak ridha sampai umat Islam mengikuti mereka. Mereka berusaha untuk menyesatkan umat Islam dan memurtadkan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini gencar sekali dihembuskan propaganda penyatuan agama, yang menyatakan konsep satu Tuhan tiga agama. Hal ini tidak bisa diterima, baik secara nash (dalil al-Qur'ân dan as-Sunnah) maupun akal. Ini hanyalah angan-angan semu belaka.
Kesesatan ini telah dibantah oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur'ân :
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿١١١﴾بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar. Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allâh, dan ia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’ [al-Baqarah/2:111-112]
Orang Yahudi dan Nasrani mengadakan propaganda berupa tipuan agar kaum Muslimin keluar dari ke-Islamannya dan mengikuti mereka. Bahkan mereka memberikan iming-iming bahwa dengan mengikuti agama mereka, maka orang Islam akan mendapat petunjuk. Padahal, Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim q yang lurus, agama tauhid yang terpelihara. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘(Tidak!) tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk orang yang mempersekutukan Allâh. [al-Baqarah/2:135]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya. [al-Baqarah/2:42]
Berkenaan dengan tafsir ayat ini, “Dan janganlah kalian campuradukkan yang haq dengan yang bathil,” Imam Ibnu Jarîr t membawakan pernyataan Imam Mujâhid rahimahullah yang mengatakan, “Janganlah kalian mencampuradukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam.”
Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Qatâdah rahimahullah berkata, “Janganlah kalian campur-adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, karena sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allâh Azza wa Jalla hanyalah Islam. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah bukan dari Allâh Azza wa Jalla !”
Sungguh, tafsir ini merupakan khazanah fiqih yang sangat agung dalam memahami Al-Qur-an.
Untuk itulah kewajiban kita bersikap hati-hati terhadap propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua agama adalah baik’, ‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’, ‘persaudaraan antar agama’, ‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’, ‘Jaringan Islam Liberal (JIL)’, dan lainnya. Bahkan mereka gunakan juga istilah HAM (Hak Asasi Manusia) untuk menyesatkan kaum Muslimin dengan kebebasan beragama.
Semua slogan dan propaganda tersebut bertujuan untuk menyesatkan umat Islam, dengan memberikan simpati atas agama Nasrani dan Yahudi, mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq, untuk menghapus jihad, untuk menghilangkan ‘aqidah al-wala' wal bara’ (cinta/loyal kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya), dan mengembangkan pemikiran anti agama Islam. Dari semua sisi hal ini sangat merugikan Islam dan umatnya.
Semua propaganda sesat tersebut merusak ‘aqidah Islam. Sedangkan ‘aqidah merupakan hal yang paling pokok dan asas dalam agama Islam ini, karena agama yang mengajarkan prinsip ibadah yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla saja, hanyalah agama Islam.
Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , adalah Rasul terakhir dan Rasul penutup. Syari’at beliau n adalah penghapus bagi syari’at sebelumnya. Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menerima syari’at lain dari seorang hamba selain syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Islam). Islam adalah syari’at penutup yang kekal dan terpelihara dari penyimpangan yang terjadi pada syari’at-syari’at sebelumnya, dan seluruh manusia diwajibkan untuk mengemban syari’at ini.
Setiap Muslim wajib berpegang teguh kepada agama Islam, dan janganlah ia mati melainkan dalam keadaan Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imrân/3:102]
Maka siapa saja yang tidak masuk Islam sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mati dalam keadaan kafir maka ia menjadi penghuni Neraka. Wal ‘iyâdzubillâh.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُـحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِـي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِـيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Rabb yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.[3]
AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK
Setiap orang yang beragama Islam wajib mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Dan seorang Muslim juga mesti memahami pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan syarat-syaratnya, supaya ia benar-benar bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .
Tauhid menurut etimologi (bahasa) diambil dari kata: وَحَّدَ، يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut terminologi (istilah ilmu syar’i), tauhid berarti mengesakan Allâh Azza wa Jalla pada segala sesuatu yang khusus bagi-Nya. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ketiga macam tauhid, yaitu Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya. Dengan kata lain, Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja.
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Allâh Azza wa Jalla adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’ânah (minta pertolongan), istighâtsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’âdzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya untuk Allâh semata dan ikhlas karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.
Tauhid Asma’ wa Shifat artinya menetapkan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya n , serta mensucikan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n . Dan kaum Muslimin wajib menetapkan Sifat-Sifat Allâh Azza wa Jalla , baik yang terdapat di dalam al-Qur'ân maupun dalam as-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil. Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
Dan Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa; Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata, “Allâh Azza wa Jalla itu tunggal dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allâh tidak boleh disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.”[3]
Inilah inti ajaran Islam, yaitu mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla . Seorang Muslim wajib mentauhidkan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan konsekuensi dari kalimat syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ sebagai wujud rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa yang bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, maka baginya Surga dan diharamkan masuk Neraka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّةَ
Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh, maka ia masuk Surga. [5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allâh, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allâh mengharamkannya masuk Neraka[6]
Sebaliknya, orang-orang yang berbuat syirik kepada Allâh Azza wa Jalla , maka diharamkan Surga bagi mereka dan tempat mereka adalah di Neraka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka sungguh Allâh mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [al-Mâidah/5:72]
ISLAM ADALAH AGAMA YANG MUDAH
Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia.[7] Islam adalah agama yang tidak sulit. Allâh Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Sebagaimana firman Allâh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“...Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” [al-Baqarah/2:185]
Juga firman-Nya :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“... Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama ...” [Al-Hajj/22: 78]
Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah manusia, baik dalam hal ‘aqidah, syari’at, ibadah, muamalah dan lainnya. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan manusia, tidak akan memberikan beban kepada hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak sanggup lakukan, Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya... [Al-Baqarah/2: 286]
Tidak ada hal apa pun yang sulit dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla tidak akan membebankan sesuatu yang manusia tidak mampu melaksanakannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْـجَةِ
Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.[8]
Hanya saja ada sebagian orang yang menganggap Islam itu berat, keras, dan sulit. Anggapan keliru ini muncul karena :
1. Ketidaktahuan tentang Islam. Mereka tidak belajar al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Shahabat, dan tidak mau menuntut ilmu syar’i.
2. Mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsu menggap semuanya susah dan berat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. Jadi yang mudah dalam pandangan mereka hanyalah yang sesuai dengan nafsu mereka saja.
3. Banyak berbuat dosa dan maksiat, sebab dosa dan maksiat menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan dan selalu merasa berat untuk melakukannya.
4. Mengikuti agama nenek moyang dan mengikuti pendapat orang banyak.
5. Mengikuti adat istiadat dan kebudayaan.
6. Mengikuti kelompok, madzhab, dan lainnya.
Syari’at Islam adalah mudah. Kemudahan syari’at Islam berlaku dalam semua hal, baik dalam ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) maupun furu’ (cabang), baik dalam ‘aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, jual beli, pinjam-meminjam, pernikahan, hukuman dan lainnya.
Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya, semua yang dilarang dalam Islam mengandung banyak kemudharatan. Maka, kewajiban atas kita untuk sungguh-sungguh memegang teguh syari’at Islam dan mengamalkannya. Apabila kita mengikuti al-Qur'ân dan as-Sunnah dan mengamalkannya maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan hidayah (petunjuk) dan kita dimudahkan dalam melaksanakan agama Islam ini.
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam al-Qur'ân tentang ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) dan furu’ (cabang-cabang) agama Islam. Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya. Islam menjelaskan tentang beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan benar, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan syirik, bagaimana shalat yang benar, zakat, puasa, haji, bagaimana melaksanakan hari raya, bergaul dengan manusia dengan batas-batasnya sampai tentang cara buang air besar pun diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَلْمَانَ z قَـالَ: قَـالَ لَنَـا الْمُشْـرِكُوْنَ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْـخِرَاءَةَ ! فَقَالَ: أَجَلْ !
Dari Salmân Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya!’”[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada manusia apa saja yang membawa manusia ke Surga dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ أَبِـى ذَرٍّ z قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ j وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِـي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا. قَالَ: فَقَالَ j: مَا بَقِـيَ شَـيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْـجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , ia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” [10]
Setiap Muslim wajib mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ’/4:59]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4:65]
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim (no. 2564 (33)), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Pembahasan lengkapnya lihat kitab al-Ibthâl Linazhariyyatil Khalthi baina Dînil Islâm wa Ghairihi minal Adyân karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, cet. Daar ‘Alamul Fawaa-id, cet II/ th. 1421 H.
[3]. Shahih: HR. Muslim no 153 (240) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 63), cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1420 H.
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu.
[6]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32), dari hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[7]. Pembahasan ini diambil dari kitab Kamâluddîn al-Islâmi oleh Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim (hlm. 42) dan Shuwarun min Samâhatil Islâm oleh DR. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali Ar-Rabii’ah, cet. Darul Mathbu’aat al-Haditsah, Jeddah th. 1406 H, dan kitab-kitab lainnya.
[8]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 39), Kitâbul Imân bab ‘Addînu Yusrun’, dan an-Nasa-i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. Shahih: Riwayat Muslim (no. 262 (57)), Abu Dawud (no. 7), at-Tirmidzi (no. 16) dan Ibnu Mâjah (no. 316), dari Salmân al-Farisi Radhiyallahu anhu.
[10]. Shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/155-156, no. 1647) dan Ibnu Hibbân (no. 65) dengan ringkas, dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 1803).
Setiap Muslim yakin sepenuhnya bahwa karunia Allâh Azza wa Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang Muslim wajib bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-Nya yang telah memberikan hidayah Islam. Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa nikmat Islam adalah karunia yang terbesar, sebagaimana firman-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Sebagai bukti syukur seorang Muslim atas nikmat ini adalah dengan menjadikan dirinya sebagai seorang Muslim yang ridha Allâh sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya. Seorang Muslim harus menerima dan meyakini agama Islam dengan sepenuh hati. Artinya ia dengan penuh kesadaran dan keyakinan menerima apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika seseorang ingin menjadi Muslim sejati, pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setia, maka ia harus meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang haq (benar). Ia harus belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan Islam dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dengan mengikuti contoh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kondisi sebagian umat Islam yang kita lihat sekarang ini sangat menyedihkan. Mereka mengaku Islam, KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka Islam, mereka semua mengaku sebagai Muslim, tetapi ironinya mereka tidak mengetahui tentang Islam, tidak berusaha untuk mengamalkan Islam. Bahkan ada sebagian ritual keagamaan yang mereka amalkan hanya ikut-ikutan saja. Penilaian baik dan tidaknya seseorang sebagai Muslim bukan dengan pengakuan dan KTP, tetapi berdasarkan ilmu dan amal. Allâh Azza wa Jalla tidak memberikan penilaian berdasarkan keaslian KTP yang dikeluarkan pemerintah, juga tidak kepada rupa dan bentuk tubuh, tetapi Allâh melihat kepada hati dan amal.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَـى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَـى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allâh tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.[1]
Seorang Muslim wajib belajar tentang Islam yang berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah Nabi n yang shahih sesuai dengan pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum . al-Qur'ân diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla agar dibaca, dipahami isinya dan diamalkan petunjuknya. al-Qur'ân dan as-Sunnah merupakan pedoman hidup abadi dan terpelihara, yang harus dipelajari dan diamalkan. Seorang Muslim tidak akan sesat selama mereka berpegang kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum .
al-Qur'ân adalah petunjuk hidup, penawar, rahmat, penyembuh, dan sumber kebahagiaan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٧﴾ قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-Qur'ân) dari Rabb-mu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ [ Yunus/10:57-58]
ISLAM ADALAH SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam… [Ali ‘Imrân/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali ‘Imrân/3:85]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allâh itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, maka tidak akan ada bagimu Pelindung dan Penolong dari Allâh. [al-Baqarah/2:120]
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam satu-satunya agama yang benar, adapun selain Islam tidak benar dan tidak diterima oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, agama selain Islam, tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , karena agama-agama tersebut telah mengalami penyimpangan yang fatal dan telah dicampuri dengan tangan-tangan kotor manusia. Setelah diutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang Yahudi, Nasrani dan yang lainnya wajib masuk ke dalam Islam, mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemudian ayat-ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam serta mereka tidak ridha sampai umat Islam mengikuti mereka. Mereka berusaha untuk menyesatkan umat Islam dan memurtadkan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini gencar sekali dihembuskan propaganda penyatuan agama, yang menyatakan konsep satu Tuhan tiga agama. Hal ini tidak bisa diterima, baik secara nash (dalil al-Qur'ân dan as-Sunnah) maupun akal. Ini hanyalah angan-angan semu belaka.
Kesesatan ini telah dibantah oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur'ân :
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿١١١﴾بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar. Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allâh, dan ia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’ [al-Baqarah/2:111-112]
Orang Yahudi dan Nasrani mengadakan propaganda berupa tipuan agar kaum Muslimin keluar dari ke-Islamannya dan mengikuti mereka. Bahkan mereka memberikan iming-iming bahwa dengan mengikuti agama mereka, maka orang Islam akan mendapat petunjuk. Padahal, Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim q yang lurus, agama tauhid yang terpelihara. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘(Tidak!) tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk orang yang mempersekutukan Allâh. [al-Baqarah/2:135]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya. [al-Baqarah/2:42]
Berkenaan dengan tafsir ayat ini, “Dan janganlah kalian campuradukkan yang haq dengan yang bathil,” Imam Ibnu Jarîr t membawakan pernyataan Imam Mujâhid rahimahullah yang mengatakan, “Janganlah kalian mencampuradukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam.”
Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Qatâdah rahimahullah berkata, “Janganlah kalian campur-adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, karena sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allâh Azza wa Jalla hanyalah Islam. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah bukan dari Allâh Azza wa Jalla !”
Sungguh, tafsir ini merupakan khazanah fiqih yang sangat agung dalam memahami Al-Qur-an.
Untuk itulah kewajiban kita bersikap hati-hati terhadap propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua agama adalah baik’, ‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’, ‘persaudaraan antar agama’, ‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’, ‘Jaringan Islam Liberal (JIL)’, dan lainnya. Bahkan mereka gunakan juga istilah HAM (Hak Asasi Manusia) untuk menyesatkan kaum Muslimin dengan kebebasan beragama.
Semua slogan dan propaganda tersebut bertujuan untuk menyesatkan umat Islam, dengan memberikan simpati atas agama Nasrani dan Yahudi, mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq, untuk menghapus jihad, untuk menghilangkan ‘aqidah al-wala' wal bara’ (cinta/loyal kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya), dan mengembangkan pemikiran anti agama Islam. Dari semua sisi hal ini sangat merugikan Islam dan umatnya.
Semua propaganda sesat tersebut merusak ‘aqidah Islam. Sedangkan ‘aqidah merupakan hal yang paling pokok dan asas dalam agama Islam ini, karena agama yang mengajarkan prinsip ibadah yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla saja, hanyalah agama Islam.
Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , adalah Rasul terakhir dan Rasul penutup. Syari’at beliau n adalah penghapus bagi syari’at sebelumnya. Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menerima syari’at lain dari seorang hamba selain syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Islam). Islam adalah syari’at penutup yang kekal dan terpelihara dari penyimpangan yang terjadi pada syari’at-syari’at sebelumnya, dan seluruh manusia diwajibkan untuk mengemban syari’at ini.
Setiap Muslim wajib berpegang teguh kepada agama Islam, dan janganlah ia mati melainkan dalam keadaan Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imrân/3:102]
Maka siapa saja yang tidak masuk Islam sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mati dalam keadaan kafir maka ia menjadi penghuni Neraka. Wal ‘iyâdzubillâh.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُـحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِـي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِـيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Rabb yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.[3]
AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK
Setiap orang yang beragama Islam wajib mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Dan seorang Muslim juga mesti memahami pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan syarat-syaratnya, supaya ia benar-benar bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .
Tauhid menurut etimologi (bahasa) diambil dari kata: وَحَّدَ، يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut terminologi (istilah ilmu syar’i), tauhid berarti mengesakan Allâh Azza wa Jalla pada segala sesuatu yang khusus bagi-Nya. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ketiga macam tauhid, yaitu Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya. Dengan kata lain, Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja.
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Allâh Azza wa Jalla adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’ânah (minta pertolongan), istighâtsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’âdzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya untuk Allâh semata dan ikhlas karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.
Tauhid Asma’ wa Shifat artinya menetapkan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya n , serta mensucikan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n . Dan kaum Muslimin wajib menetapkan Sifat-Sifat Allâh Azza wa Jalla , baik yang terdapat di dalam al-Qur'ân maupun dalam as-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil. Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
Dan Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa; Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata, “Allâh Azza wa Jalla itu tunggal dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allâh tidak boleh disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.”[3]
Inilah inti ajaran Islam, yaitu mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla . Seorang Muslim wajib mentauhidkan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan konsekuensi dari kalimat syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ sebagai wujud rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa yang bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, maka baginya Surga dan diharamkan masuk Neraka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّةَ
Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh, maka ia masuk Surga. [5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allâh, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allâh mengharamkannya masuk Neraka[6]
Sebaliknya, orang-orang yang berbuat syirik kepada Allâh Azza wa Jalla , maka diharamkan Surga bagi mereka dan tempat mereka adalah di Neraka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka sungguh Allâh mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [al-Mâidah/5:72]
ISLAM ADALAH AGAMA YANG MUDAH
Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia.[7] Islam adalah agama yang tidak sulit. Allâh Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Sebagaimana firman Allâh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“...Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” [al-Baqarah/2:185]
Juga firman-Nya :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“... Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama ...” [Al-Hajj/22: 78]
Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah manusia, baik dalam hal ‘aqidah, syari’at, ibadah, muamalah dan lainnya. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan manusia, tidak akan memberikan beban kepada hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak sanggup lakukan, Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya... [Al-Baqarah/2: 286]
Tidak ada hal apa pun yang sulit dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla tidak akan membebankan sesuatu yang manusia tidak mampu melaksanakannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْـجَةِ
Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.[8]
Hanya saja ada sebagian orang yang menganggap Islam itu berat, keras, dan sulit. Anggapan keliru ini muncul karena :
1. Ketidaktahuan tentang Islam. Mereka tidak belajar al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Shahabat, dan tidak mau menuntut ilmu syar’i.
2. Mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsu menggap semuanya susah dan berat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. Jadi yang mudah dalam pandangan mereka hanyalah yang sesuai dengan nafsu mereka saja.
3. Banyak berbuat dosa dan maksiat, sebab dosa dan maksiat menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan dan selalu merasa berat untuk melakukannya.
4. Mengikuti agama nenek moyang dan mengikuti pendapat orang banyak.
5. Mengikuti adat istiadat dan kebudayaan.
6. Mengikuti kelompok, madzhab, dan lainnya.
Syari’at Islam adalah mudah. Kemudahan syari’at Islam berlaku dalam semua hal, baik dalam ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) maupun furu’ (cabang), baik dalam ‘aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, jual beli, pinjam-meminjam, pernikahan, hukuman dan lainnya.
Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya, semua yang dilarang dalam Islam mengandung banyak kemudharatan. Maka, kewajiban atas kita untuk sungguh-sungguh memegang teguh syari’at Islam dan mengamalkannya. Apabila kita mengikuti al-Qur'ân dan as-Sunnah dan mengamalkannya maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan hidayah (petunjuk) dan kita dimudahkan dalam melaksanakan agama Islam ini.
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu...” [al-Mâidah/5:3]
Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam al-Qur'ân tentang ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) dan furu’ (cabang-cabang) agama Islam. Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya. Islam menjelaskan tentang beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan benar, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan syirik, bagaimana shalat yang benar, zakat, puasa, haji, bagaimana melaksanakan hari raya, bergaul dengan manusia dengan batas-batasnya sampai tentang cara buang air besar pun diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَلْمَانَ z قَـالَ: قَـالَ لَنَـا الْمُشْـرِكُوْنَ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْـخِرَاءَةَ ! فَقَالَ: أَجَلْ !
Dari Salmân Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya!’”[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada manusia apa saja yang membawa manusia ke Surga dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ أَبِـى ذَرٍّ z قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ j وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِـي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا. قَالَ: فَقَالَ j: مَا بَقِـيَ شَـيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْـجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , ia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” [10]
Setiap Muslim wajib mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ’/4:59]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4:65]
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim (no. 2564 (33)), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Pembahasan lengkapnya lihat kitab al-Ibthâl Linazhariyyatil Khalthi baina Dînil Islâm wa Ghairihi minal Adyân karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, cet. Daar ‘Alamul Fawaa-id, cet II/ th. 1421 H.
[3]. Shahih: HR. Muslim no 153 (240) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 63), cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1420 H.
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu.
[6]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32), dari hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[7]. Pembahasan ini diambil dari kitab Kamâluddîn al-Islâmi oleh Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim (hlm. 42) dan Shuwarun min Samâhatil Islâm oleh DR. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali Ar-Rabii’ah, cet. Darul Mathbu’aat al-Haditsah, Jeddah th. 1406 H, dan kitab-kitab lainnya.
[8]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 39), Kitâbul Imân bab ‘Addînu Yusrun’, dan an-Nasa-i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. Shahih: Riwayat Muslim (no. 262 (57)), Abu Dawud (no. 7), at-Tirmidzi (no. 16) dan Ibnu Mâjah (no. 316), dari Salmân al-Farisi Radhiyallahu anhu.
[10]. Shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/155-156, no. 1647) dan Ibnu Hibbân (no. 65) dengan ringkas, dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 1803).
19.15
Dua Ulama Timur Tengah akan Isi Tabligh Akbar di Jakarta & Luar Jawa
Written By Unknown on Selasa, 27 Mei 2014 | 19.15
JAKARTA (gemaislam) – Kabar gembira datang bagi para penuntut ilmu Syar’i di Jakarta dan sekitarnya. Dua ulama asal Timur Tengah akan mengisi acara tabligh akbar dimasjid Istiqlal pada Ahad 22 Juni 2014.
“Insya Allah akan datang dua ulama, yaitu Syaikh Ali Hasan Al Halabi dari Yordania dan Syaikh DR. Anis Thohir dari Arab Saudi,” kata ketua panitia acara tabligh akbar nasional, Ustadz Basuni Iskandar kepada gemaislam.com, Selasa (27/5/2014).
Dua ulama itu, kata Ustadz Basuni, akan mengisi tabligh akbar dimasjid Istiqlal Jakarta.
“Acaranya di masjid Istiqlal, mulai pukul 15.30 sampai 20.30 WIB,” ujarnya.
Rencananya, tema yang akan disampaikan oleh ulama ternama ini adalah tentang kepemimpinan sahabat nabi, khususnya Umar bin Khotthob.
“Temanya adalah meneladani kepemimpinan Umar bin Khotthob,” terangnya.
Ustadz Basuni yakin, acara spesial ini bakal dihadiri seratus ribu orang dari Jakarta dan sekitarnya.
“Target kita adalah seratus ribu orang yang hadir, maka kita pilih masjid Istiqlal yang luas tempatnya,” paparnya.
Bukan hanya di Jakarta, pihak panitia berencana akan mengadakan tabligh akbar sejenis di Surabaya dan luar Jawa.
“Insya Allah di Surabaya, Makassar dan Banjarmasin akan kita adakan juga,” ujarnya.
“Target kita adalah seratus ribu orang yang hadir, maka kita pilih masjid Istiqlal yang luas tempatnya,” paparnya.
Bukan hanya di Jakarta, pihak panitia berencana akan mengadakan tabligh akbar sejenis di Surabaya dan luar Jawa.
“Insya Allah di Surabaya, Makassar dan Banjarmasin akan kita adakan juga,” ujarnya.
Hadir sebagai penerjemah dalam acara tabligh akbar ini adalah Ustadz Firanda dan Ustadz Yusuf Baisa
Syaikh Ali Hasan Al Halabi adalah ulama yang sering datang berkunjung ke Indonesia untuk mengisi acara tabligh akbar dan seminar para da’i. Beliau adalah salah satu murid senior dari ahli hadits terkenal zaman ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Sedangkan Syaikh DR. Anis Thohir adalah salah satu ulama keturunan Indonesia dan Guru Besar di Universitas Islam Madinah Arab Saudi.
Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi panitia, Ustadz Basuni Iskandar (0821.4067.5825), Ustadz Aminullah Yasin (0857.1560.2254) dan Budi Marta Saudin (0838.2407.6305). (bms)
Label:
Info Kajian Update,
Info Terkini
09.00
Memahami Tawassul
Pembaca muslimah yang semoga dirahmati Allah, tidak asing lagi bagi kita pembahasan seputar tawassul. Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepadaNya, beribadah kepadaNya, mengikuti petunjuk RasulNya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhaiNya, lebih jelasnya adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surgaNya. Tentu saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan dalam kehidupan kita namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit pula orang yang terjerumus kedalam tawassul yang itu sama sekali tidak di syari’atkan di dalam agama Islam. Ada sebagian orang yang mentakwil hadits-hadits tentang tawassul dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah berbagai bentuk tawassul yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam bahkan merupakan kesyirikan yang besar.
Untuk itulah di sini kita akan membahas tentang berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar kita. Ahlussunnah wal jama’ah membolehkan tawassul yang syar’i di mana ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun jelas ahlussunnah juga melarang dari berbagai bentuk tawassul yang bid’ah apalagi syirik yang ini pun juga sudah tersebar dan menjadi kebiasan bagi sebagian orang. Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon ridhaNya namun ternyata sebaliknya, murka Allah lah baginya. Wal iyyadzu billah.
Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
Pengertian tawassul
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam alqur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.(Tafsir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan dii kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalanNya agar kamu beruntung.”(QS.Al-Maidah: 35)
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam : yang sunnah, bid’ah, dan yang syirik.
Tawassul yang sunnah
Pertama: Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.”(QS. Al-A’raf:180).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan seluruh namaMu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitabMu, atau yang masih tersimpan di sisiMu.”(HR.Ahmad :3712)
Kedua: Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanya dengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.”(HR. An-Nasa’i, al-Bazzar dan al-Hakim)
Ketiga: Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertigapun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
Keempat: Bertawassul dengan meminta do’anya orang shalih yang masih hidup
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Orang itu berkata, ”Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali)”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Jika Engkau menghendaki aku akan berdo’a untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu”. Orang tersebut tetap berkata, ”Do’akanlah”. Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdo’a dengan mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku menghadap kepadaMu bersama dengan nabiMu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (do’a)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (do’a)nya.” Ia (perawi hadits) berkata, ”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh”. (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Kelima: Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti” (QS.Ali-Imran: 193)
Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
”Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Anbiya: 87-88)
Tawassul yang bid’ah
Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari 1010)
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan do’a paman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahka perantara menuju kesyirikan. Contoh, ”Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih
Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.
Tawassul yang syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdo’a kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh, ”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah.
Referensi:
Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Mutiara Faedah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam
Khudz ‘Aqidataka minal Kitabi wa Sunnatis Shahihi, Muhammad bin Jamil Zainu
Buletin At-Tauhid
Penulis: Ummu Yusuf
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Untuk itulah di sini kita akan membahas tentang berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar kita. Ahlussunnah wal jama’ah membolehkan tawassul yang syar’i di mana ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun jelas ahlussunnah juga melarang dari berbagai bentuk tawassul yang bid’ah apalagi syirik yang ini pun juga sudah tersebar dan menjadi kebiasan bagi sebagian orang. Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon ridhaNya namun ternyata sebaliknya, murka Allah lah baginya. Wal iyyadzu billah.
Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
Pengertian tawassul
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam alqur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.(Tafsir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan dii kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalanNya agar kamu beruntung.”(QS.Al-Maidah: 35)
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam : yang sunnah, bid’ah, dan yang syirik.
Tawassul yang sunnah
Pertama: Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.”(QS. Al-A’raf:180).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan seluruh namaMu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitabMu, atau yang masih tersimpan di sisiMu.”(HR.Ahmad :3712)
Kedua: Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanya dengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.”(HR. An-Nasa’i, al-Bazzar dan al-Hakim)
Ketiga: Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertigapun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
Keempat: Bertawassul dengan meminta do’anya orang shalih yang masih hidup
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Orang itu berkata, ”Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali)”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Jika Engkau menghendaki aku akan berdo’a untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu”. Orang tersebut tetap berkata, ”Do’akanlah”. Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdo’a dengan mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku menghadap kepadaMu bersama dengan nabiMu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (do’a)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (do’a)nya.” Ia (perawi hadits) berkata, ”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh”. (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Kelima: Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti” (QS.Ali-Imran: 193)
Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
”Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Anbiya: 87-88)
Tawassul yang bid’ah
Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari 1010)
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan do’a paman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahka perantara menuju kesyirikan. Contoh, ”Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih
Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.
Tawassul yang syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdo’a kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh, ”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah.
Referensi:
Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Mutiara Faedah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam
Khudz ‘Aqidataka minal Kitabi wa Sunnatis Shahihi, Muhammad bin Jamil Zainu
Buletin At-Tauhid
Penulis: Ummu Yusuf
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Label:
Aqidah
08.46
Teman Tapi Mesra
Islam sangat menginginkan maslahat bagi umatnya. Sehingga segala jalan yang mengantar pada yang haram ingin ditutup. Artinya, jalan tersebut pun terlarang dilalui. Hal ini berlaku dalam masalah zina. Segala jalan menuju perbuatan zina pun terlarang. Karena kenyataan yang terjadi, zina berawal dari perbuatan-perbuatan kecil yang mengantar pada zina.
Hubungan yang satu ini pun perlu diwaspadai. Berawal dari menanyakan nomor HP. Kemudian melangkah pada sms-an setiap waktu. Sehingga pingin lagi lebih dekat. Kemudian menjadi teman tetapi selalu mesra. Sebagian pasangan tersebut boleh jadi tidak pernah ketemu. Dan beritikad kuat tidak mau berpacaran seperti yang lainnya, yang mesti jalan berdua dan kencan. Tetapi yang namanya teman tapi mesra seperti ini pun tetap bermasalah walau hanya lewat handphone.
Sekali-kali Islam telah mewanti-wanti hal ini karena khawatir akan terjerumus dalam perkara haram yang lebih besar. Dalam ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32). Imam Al Qurthubi berkata, “Para ulama mengatakan mengenai firman Allah (yang artinya) ‘janganlah mendekati zina’ bahwa larangan dalam ayat ini lebih dari perkataan ‘janganlah melakukan zina’. Makna ayat tersebut adalah ‘jangan mendekati zina’.
Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”
Maksudnya sekali lagi, mendekati zina saja tidak boleh apalagi sampai melakukannya. Mendekati di sini adalah tidak melakukan berbagai hal yang dapat menjerumuskan dalam zina. Zina tentu saja ada muqoddimah, ada perantara menuju perbuatan tersebut. Pertemanan tetapi mesra terus, ini salah satunya. Sehingga jelas pertemanan seperti ini perlu dibatasi.
Jadinya, untuk pemuda-pemudi, bergaullah dengan memperhatikan aturan Islam. Karena aturan dalam agama kita ini selalu mendatangkan maslahat dan mencegah mudhorot. Puteri bergaullah dengan sesama jenisnya, demikian dengan putera. Jika demikian maka akan terjaga diri dan kehormatan.
Hanya Allah yang memberi petunjuk dan hidayah.
@ Sakan 27 KSU, Riyadh, KSA, 17 Syawal 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Hubungan yang satu ini pun perlu diwaspadai. Berawal dari menanyakan nomor HP. Kemudian melangkah pada sms-an setiap waktu. Sehingga pingin lagi lebih dekat. Kemudian menjadi teman tetapi selalu mesra. Sebagian pasangan tersebut boleh jadi tidak pernah ketemu. Dan beritikad kuat tidak mau berpacaran seperti yang lainnya, yang mesti jalan berdua dan kencan. Tetapi yang namanya teman tapi mesra seperti ini pun tetap bermasalah walau hanya lewat handphone.
Sekali-kali Islam telah mewanti-wanti hal ini karena khawatir akan terjerumus dalam perkara haram yang lebih besar. Dalam ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32). Imam Al Qurthubi berkata, “Para ulama mengatakan mengenai firman Allah (yang artinya) ‘janganlah mendekati zina’ bahwa larangan dalam ayat ini lebih dari perkataan ‘janganlah melakukan zina’. Makna ayat tersebut adalah ‘jangan mendekati zina’.
Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”
Maksudnya sekali lagi, mendekati zina saja tidak boleh apalagi sampai melakukannya. Mendekati di sini adalah tidak melakukan berbagai hal yang dapat menjerumuskan dalam zina. Zina tentu saja ada muqoddimah, ada perantara menuju perbuatan tersebut. Pertemanan tetapi mesra terus, ini salah satunya. Sehingga jelas pertemanan seperti ini perlu dibatasi.
Jadinya, untuk pemuda-pemudi, bergaullah dengan memperhatikan aturan Islam. Karena aturan dalam agama kita ini selalu mendatangkan maslahat dan mencegah mudhorot. Puteri bergaullah dengan sesama jenisnya, demikian dengan putera. Jika demikian maka akan terjaga diri dan kehormatan.
Hanya Allah yang memberi petunjuk dan hidayah.
@ Sakan 27 KSU, Riyadh, KSA, 17 Syawal 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Label:
Remaja